Guns "N" Roses Jakarta 15 Dec 2012

Konser Perdana Guns N Roses di Indonesia

Soundrenaline

Festival Musik Rock yang tak pernah mati

Rockotor Fest 2013

Pesta akbar kaum Grunge Indonesia...Grunge Strikes Back!!!

One Direction

One Direction akan konser di Indonesia 2013?

West End Teater London

Teater legendaris dari London ini merilis top 10 jadwal pertunjukan mereka.

Pablo Picasso

Lukisan terbesar karya Pablo Picasso akan dipamerankan di Perancis

Adam Lambert

Bagaimana kontroversi kehidupan pribadi pemenang kedua American Idol Season 2009 ini?

NOAH

Kontroversi nama baru grup band Ariel, Uki, Lukman, Reza, dan David

Lagi...MUSE

MUSE didaulat untuk mengusung lagu mereka menjadi salah satu theme song Olimpiade London 2012

Teater IB Padang tampil memukau

Geliat Teater di zaman digital ditunjukkan oleh pemuda - pemuda dari Teater Imam Bonjol Padang

Elton John 2012

Setelah sempat diundur, Elton John dipastikan menyapa penggemarnya di Indonesia pada bulan November 2012

Aelita Andre

Bagaimana bisa lukisan abstrak bocah cilik ini bisa diterima di dunia?

Grunge

Bagaimana pandangan global terhadap suara GRUNGE, suara santun kaum urakan?

Lima Maestro Seni Rupa Indonesia

Hendra Gunawan: Bebas pengaruh asing.
Hendra adalah seniman yang menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Dia dituduh terlibat pemberontakan PKI dan dipenjara selama belasan tahun. Padahal sejatinya Hendra tidak terlibat politik praktis. Dia hanya menjadi anggota Lekra, lembaga kesenian bentukan PKI. Hendra disebut dekat dengan rakyat karena dia melukis masalah keseharian rakyat.
Di penjara Hendra melukis. Hal itu menjadikan dia sebagai pelukis Indonesia yang paling bebas dari pengaruh gaya dan aliran dari luar negeri. "Hendra tidak kena pengaruh dari luar karena selalu berada di penjara. Dia murni pelukis Indonesia," kata OHD.

Lukisan Hendra dikenal karena pemilihan warnanya yang berbeda. Hendra juga dikenal sangat memuliakan wanita. Seiring berjalannya waktu, pilihan warna pada lukisan Hendra menjadi makin cerah.
Meski dipenjara, menurut Oei, Hendra tak dendam. "Dia bahkan melukis potret diri Presiden Soeharto," kata Oei. Sayang lukisan itu belum dapat dipamerkan karena sedang direstorasi. Hendra juga melukis beberapa lukisan mengenai kejadian di lubang buaya, menurut versi yang diceritakan Orde Baru.

Widayat: Picasso Indonesia
Widayat dijuluki Oei sebagai Picasso Indonesia. Meski demikian, Widayat bukan hanya melukis abstrak. Lukisan pertamanya tahun 1953. Saat itu lukisan Widayat masih beraliran realis.

 
Widayat melukis dirinya bersama adik perempuannya.

Tahun-tahun berikutnya lukisan Widayat berubah menjadi abstrak. Widayat banyak terpengaruh Picasso, juga dalam melukis tubuh telanjang. Tapi lukisan telanjang karya Widayat berbeda dengan karya Affandi yang penuh gairah. "Lukisan nude karya Widayat lebih lucu, bernuansa romantik," kata OHD.

Oei menyebut Widayat sebagai Picasso Indonesia karena kreativitasnya. Widayat punya etos kerja tinggi, tak ada satu haripun yang dia lewatkan tanpa melukis. "Karyanya apolitis tapi punya sifat magis," kata Oei.

Affandi: Emosi dalam potret diri
Affandi mungkin pelukis paling terkenal dibanding empat maestro lain. Sebagian besar lukisan Affandi bertema potret diri. Meski Affandi hanya satu orang, ternyata lukisan yang dihasilkan selalu berbeda karena moodnya saat melukis tak akan pernah sama. Contohnya, dua lukisan self portrait yang dibuat tahun 1960 dan 1961 tapi sangat berbeda.

Potret diri Affandi tahun 1960 dan 1961.

Menurut OHD, lukisan merupakan penyaluran jiwa Affandi, dari apa yang ada dalam pikirannya, disalurkan dalam lukisan serta merta. Bahkan, Affandi kadang tak memakai kuas dalam melukis. "Affandi sangat emosional, dia mencurahkan jiwanya melalui subyek yang dilukisnya," kata OHD.

Selain potret diri, Affandi sangat dipengaruhi budaya Bali. Dia banyak melukis barong dan adu ayam. Oei juga punya satu lukisan Affandi yang disebutnya sebagai mahakarya lukisan interior. Lukisan itu menunjukkan interior kelenteng di Jogja dengan warna dominan merah dan hitam.

Lucunya, Affandi adalah satu-satunya pelukis yang pada masa itu memperbolehkan kolektor membeli lukisannya dengan cara dicicil. "Terserah berapa kali, berapa lama. Akibatnya lukisan Affandi paling laku," kata Oei sambil tertawa.

S Sudjojono
Berbanding terbalik dari Hendra, Sudjojono justru politikus Partai Komunis Indonesia tapi tak dipenjara. Padahal Sudjojono menjadi anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia karena kelihaiannya berpolitik. Sudjojono lepas dari tuduhan makar karena dia sudah lebih dulu keluar dari keanggotaan PKI karena menikah lagi dengan seorang perempuan.

Sebagai politikus, lukisan Sudjojono juga paling politis. Selalu ada pesan yang dia ingin sampaikan melalui lukisannya. Misalnya, penari topeng menggambarkan ketidakjujuran. Bahkan, kerapkali dia menuliskan tulisan untuk menjelaskan maksud lukisannya. Dalam lukisan berjudul 'Perjuangan belum selesai', Sudjojono menulis "Perdjuangan belum selesai, djalan masih pandjang menuju gerbang kemerdekaan."

Perjuangan belum selesai.

Sudjojono adalah pelukis yang intelek. Karyanya diciptakan melalui proses pemikiran dan punya konsep. Tapi dia sering dikritik karena dianggap disusupi ideologi kiri dalam melukis. Tak banyak karya buatan masa revolusi yang tersisa. Hampir 50 karya dibakar Belanda saat kumpeni menyerbu Jogja.

Soedibio: Bapak surealis Indonesia

 
Lukisan kelam Soedibio.Tidak tanggung-tanggung, Oei menyebut Soedibio sebagai bapak surealis Indonesia. "Tahun 40-an dia sudah membuat karya surealis, sangat melampaui zamannya," kata Oei.

Sayang, karena persoalan pribadi Soedibio menghilang dari dunia seni rupa selama 15 tahun. Akibatnya, nama Soedibio paling tidak terkenal dibanding yang lain. Karyanya masih dihargai lebih murah daripada beberapa pelukis muda.

Keunikan Soedibio ada pada gaya lukisannya yang berubah dengan drastis sesuai kisah hidupnya. Lukisannya pada zaman revolusi bernuansa kelam dan meununjukkan kekerasan. Dia kemudian menghilang, dan kembali lagi dengan gaya lukisan yang lebih lembut. "Setelah dia muncul, semua kekerasannya hilang. Pada akhir hidupnya, lukisannya menjadi bergaya dekoratif," kata Oei.

Hidup Soedibio melarat. Lukisannya banyak yang dijual untuk menghidupi lima anaknya yang masih kecil. Kini istri Soedibio sudah tak punya satupun lukisan karya almarhum suaminya.

Soedibio meninggal tahun 1981, meninggalkan lima anak. Si bungsu berusia 40 hari dan sulung berusia 9 tahun. "Kalau saya kangen lukisan Bapak, saya pergi ke tempat kolektor untuk melihat karya suami saya," kata istri Soedibio, Saitem, saat menghadiri pameran lima maestro di Magelang.
 

Affandi Sang Maestro Lukis

Gaya lukisan maestro pelukis Indonesia, Affandi Koesoema, yang akrab disapa Affandi, hingga saat ini dipertanyakan. Padahal pelukis kelahiran 1907 itu telah meninggal pada 1990. Hal itu terungkap dalam diskusi buku The Stories of Affandi di Museum Affandi, Senin, 9 Juli 2012.

Ada yang menyebut lukisan Affandi bergaya surealis, realis, dan ekspresionis. "Meski banyak yang bilang karya Affandi bergaya surealis, sebenarnya Affandi ingin dilihat sebagai seorang realis," kata Pembantu Rektor II Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, M. Agus Burhan, Senin.

Menurut Agus, perjalanan seni lukis Affandi dapat dilihat lewat beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan masa pencarian yang ditandai dengan memperdalam realisme. Meski awalnya sempat mendua dengan gaya realis dan ekspresionis, Affandi mulai cenderung bergaya ekspresionis, seperti pada karya lukisan berjudul “Iboekoe” (1943), “Karosel” (1943), “Kamarkoe” (1943), “Burung Mati di Tangankoe” (1945), serta “Laskar Rakyat Mengatur Strategi” (1946). Karya sketsa dan lukisan hitam-putihnya juga menunjukkan arah yang kuat pada gaya ekspresionisme.

Gaya lukisan Affandi, kata Agus, makin matang setelah belajar di Shantiniketan dan pameran keliling India dan Eropa pada 1949-1955. Kematangan itu ditandai dengan keliaran Affandi memakai teknik pelototan dari tube cat minyak dan basuhan tangan langsung pada kanvas. "Teknik itu menjadi kekhasan Affandi," ujarnya. Karena itu pula, banyak orang terkecoh dengan menyebut lukisan Affandi yang tak memakai teknik pelototan bukan karya Affandi.

Kolektor lukisan, Oei Hong Djien, pun menegaskan bahwa segala teknik yang dilakukan Affandi tidak ditemukan di bangku akademik. "Affandi itu seorang otodidak. Lukisannya penuh kadar emosi," kata Oei.

Ketua Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, St. Sunardi, menambahkan, membaca karya lukisan Affandi tak membuat kening berkerut. Meski tema karyanya berat, "Justru melihat karya Affandi membuat kami serius untuk menertawakan diri sendiri. Itu hebatnya Affandi," kata Sunardi.

Buku itu berisi kumpulan tulisan dari 15 penulis yang mempunyai kedekatan emosional dengan Affandi, termasuk Sumardjono, sopir pribadi Affandi. Peluncurannya dilakukan pada Ahad pekan lalu oleh Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. "Ini adalah buku pertama yang menulis soal Affandi dari sisi kekeluargaan, bukan hanya karyanya," kata cucu Affandi, Helfi Dirix.

Tiga hal pokok pada diri Affandi : Matahari, tangan dan kaki menampakkan obyek-obyek maupun tema-tema lukisan Affandi, secara kuat lebih banyak didominasi oleh nilai-nilai tradisional. Dalam kehidupannya sehari-haripun, Affandi adalah sosok kepala keluarga yang bertanggungjawab dan menunjung nilai-nilai sosial masyarakatnya. Curahan ekspresi emosi pada karya Affandi bukanlah jenis emosi kemarahan, kesakitan, keputusasaan atau ketakutan pada maut seperti nampak pada tokoh-tokoh ekspresionis Barat. Ekspresi emosi pada karya Affandi lebih mencerminkan optimisme pada kehidupan sehari-hari yang menjadi bagian hidupnya.
Affandi memilih matahari itu dipadang sebagai 'lambang' yang dapat mewakili dirinya,dipandang sebagai karakter, pada daya pancarnya yang tak kenal henti, semangat memberi tanpa menuntut imbalan, serta sumber energi yang tak habis-habisnya. Daya kreatif Affandi berkolerasi dengan karakter seperti itu. Obsesinya pada sifat matahari, seperti energi yang mengalir dalam urat darahnya, mengilhami tema dalam karyanya.Tangan dan kaki, merupakan organ-organ tubuh yang utama, baik sebagai alat kerja maupun bergerak. Hal ini berkaitan dengan gaya lukisan Affandi dan tekhnik berkaryanya yang ekspresionistik. Ini adalah gaya seni yang mengambarkan emosi senimannya. 
Gaya ekspresionisme ini menuntut keterlibatan penuh antara seniman dan obyek lukisanya,yang selalu melibatkan empati dan emosi yang mampat. Ekspresi emosi seniman pada kanvas diupayakan tercurah secara penuh. Dalam hal ini, Affandi tiba pada suatu teknik yang meminimalkan perantara seperti kuas. Jari-jarinyalah yang berperan sebagai kuas. Ini dilakukan agar getaran emosi yang mampat tadi dapat terekam sepenuhnya secara langsung ke kanvas. Keberhasilan jenis gaya seperti ini memang menentukan oleh intensitas dan kemurnian ekspresi emosi seniman. Disini, teknik yang berarti cara terbaik dalam melakukan sesuatu yang telah teruji oleh pengalaman, justru dijauhi. Idealisasi gaya ekspresif adalah lukisan anak-anak yang masih murni, atau karya masyarakat 'primitif' yang belum banyak diwarnai peradaban modern. Jadi bukan keekspresian dengan objek yang dituju oleh gaya lukisan ini, tapi ekspresi emosi yang intensif dan sejujurnya. 

Anna Karenina, Novel Legendaris Terbaik Sepanjang Masa

Anna Karenina dianggap sebagai novel terbaik sepanjang masa. Karya sastra terindah ini sampai sekarang masih terus diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia. Sampai abad modern ini, novel karya Leo Tolstoy itu telah diterjemahkan dan diterbitkan 625 kali dalam 41 bahasa. Dalam bahasa Inggris hasil terjemahan yang berbeda pernah dicetak 75 kali, Jerman 67 kali, Prancis dan Itali 36 kali, Belanda 14 kali, Cina 15 kali, dan Arab 6 kali. Di Indonesia buku novel bernilai sastra tinggi ini diterjemahkan langsung dari bahasa Rusia oleh Koesalah Soebagyo Toer sebanyak dua kali. Karya sastra novel legendaris ini telah menginspirasi semua penulis novel dunia dalam berkarya.

Anna Karenina adalah sebuah novel oleh penulis Rusia Leo Tolstoy , ditulis dan diterbitkan secara bertahap pada tahun 1873-1877 dalam terbitan berkala pada Rusia Messenger. Karya sastra ini dianggap para pengamat puncak dalam karya fiksi reales. Tolstoy menganggap Anna Karenina novel pertama benar, ketika ia datang untuk mempertimbangkan Perang dan Damai untuk lebih dari novel. Karakter Anna mungkin terinspirasi, sebagian, oleh Maria Hartung, putri sulung dari penyair Rusia Alexander Pushkin. Segera setelah bertemu saat makan malam, Tolstoy mulai membaca Pushkin prosa dan pernah memiliki lamunan sekilas tentang “bangsawan siku indah telanjang”, yang terbukti menjadi isyarat pertama’s karakter Anna. Detail cerita dan cara serta gaya bercerita Leo Tolstoy memang luar biasa, kreatif, dan cerdas. Dalam cakupan, luasnya, dan gambarannya yang realistik mengenai kehidupan Rusia. Buku ini berdiri pada puncak fiksi realistik. Sebagai seorang filsuf moral ia terkenal karena gagasan-gagasannya tentang perlawanan tanpa kekerasan, yang pada gilirannya memengaruhi tokoh-tokoh abad ke-20 seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr.

Alur Cerita
Alur cerita novel ini menggambarkan Anna Karenina sebagai seorang istri sekaligus ibu yang berselingkuh. Cerita yang luar biasa menyentuh ini dilatarbelakangi kehidupan bangsawan Rusia di abad ke-19. Kehidupan bangsawan Rusia itu identik dengan hura-hura dan bersenang-senang dengan dipenuhi kehidupan pesta-pesta, pertemuan bergengsi sesama bangsawan, olahraga pacuan kuda, atau kegiatan tamsya khususnya ke luar negeri. Lokasi cerita hanya sekitar Moskwa dan St. Petersburg. Daerah pedesaan diwakili oleh tempat tinggal Levin, teman dan sahabat Stepan Arkadyich atau Stiva Oblonskii. Anna Karenina adalah kakak kandung dari Stiva.

Kelompok bangsawan elite Rusia ini, anak-anak mereka dibiasakan juga untuk berbicara dalam bahasa Prancis dan Inggris,.Berbagai pertemuan dalam pesta atau pertemuan kelompok bangsawan Rusia itu sering diisi oleh obrolan yang tidak ada habisnya. Salah satunya yang dituangkan dalam novel ini adalah obrolan ber-monolog, berdiskusi dengan diri sendiri, atau merenungkan sesuatu. Salah satu kehebatan novel ini adalah kekuatan dalam menghadirkan perbincangan-perbincangan, diskusi, ataupun monolog ini, walaupun kadang perbincangan tersebut seperti tidak nyambung, peserta saling melontarkan ucapan yang kadang terputus di tengah jalan.

Apresiasi Luarbiasa
Apresiasi dan penghargaan terhadap maha karya sastra ini telah diberikan oleh masyarakat sastra dunia. Penulis seangkatannya juga sangat menghormati sosok Tolstoy. Fyodor Dostoyevsky menyatakan novel itu merupakan puncak kesempurnaan sebuah karya seni. Dostoyevsky juga menganggapnya sebagai yang terbesar di antara semua novelis yang hidup saat itu. Sementara Gustave Flaubert menganggap bahwa Tolstoy sebagai seorang seniman hebat sekaligus seorang psikolog hebat. Anton Chekhov, yang seringkali mengunjungi Tolstoy di tanahnya di pinggiran kota, menulis: “Ketika sastra memiliki seorang Tolstoy, menjadi penulis itu mudah dan menyenangkan; bahkan bila kita tahu bahwa kita sendiri tidak mencapai hasil apa-apa, itu tidak menjadi masalah karena Tolstoy yang berprestasi untuk kita semua. Apa yang dilakukannya berguna untuk membenarkan semua harapan dan aspirasi yang ditanamkan dalam sastra.”
Para kritikus dan novelis seperti Virginia Woolf menyatakan Tolstoy sebagai “yang terbesar di antara semua novelis” dan Thomas Mann menulis tentang seni penulisannya yang tampaknya jujur-”Jarang sekali suatu karya seni yang begitu mirip dengan alam”. Apresiasi dan perasaan yang sama dalam menilai novel itu juga juga diungkapkan oleh penulis dunia lainnya seperti Marcel Proust, Vladimir Nabokov dan William Faulkner, Franzen, Mailer, Wallace, Wolfe, Chabon, Lethem, King
Bahkan pada tahun 2007 J. Peder Zane melakukan sebuah jajak pendapat yang ditujukan kepada 125 penulis kontemporer. Hasilnya menunjukkan bahwa Anna Karenina adalah “novel terbesar yang pernah ditulis.

Anna Karenina umumnya berpikir untuk mengeksplorasi tema-tema kemunafikan, kecemburuan, iman, kesetiaan, keluarga, pernikahan, masyarakat, kemajuan, keinginan duniawi dan semangat, dan koneksi agraria untuk mendarat di kontras dengan gaya hidup kota. Translator Rosemary Edmonds menulis bahwa Tolstoy tidak secara eksplisit moralise dalam buku ini, ia memungkinkan tema untuk muncul secara alami dari “panorama luas kehidupan Rusia. Dia juga mengatakan salah satu kuncinya pesan novel ini adalah bahwa “tidak ada yang dapat membangun kebahagiaan mereka pada rasa sakit lain.
Fiksinya secara konsisten berusaha menyampaikan secara realistik masyarakat Rusia yang ada pada masanya.. Anna Karenina mengisahkan cerita-cerita perumpamaan tenang seorang perempuan yang berzinah, yang terjebak oleh kebiasaan dan kepalsuan masyarakat, serta tentang seorang pemilik tanah yang filosofis mirip sekali dengan kehidupan Tolstoy, yang bekerja bersama-sama dengan para penggarap di ladang dan berusaha memperbarui hidup mereka.
Tolstoy tidak hanya menggali dari pengalaman hidupnya sendiri tetapi juga menciptakan tokoh-tokoh sesuai dengan gambarannya, seperti Levin dalam Anna Karenina.

Leo Tolstoy
Tolstoy secara luas dianggap sebagai salah seorang novelis yang terbesar, khususnya karena karya besarnya Perang dan Damai dan Anna Karenina. Leo Tolstoy adalah seorang sastrawan Rusia yang dianggap sebagai pembaharu social. Sosok yang luar biasa itu juga dituding sebagai pasifis dan anarkis Kristen. Darah seni sastranya itu tampaknya juga ditambah dengan nilai positif sebagai seorang seorang filsuf pemikir moral. Tolstoy adalah salah satu legenda dari sastra Rusia abad ke-19. Karyanya yang paling fenomenal adalah Perang dan Damai dan Anna Karenina. Sejumlah karya-karya yang lebih singkat termasuk sejumlah novella Kematian Ivan Ilyich dan Hadji Murad juga menjadi perhatian banyak sastrawan dunia..
Tolstoy dilahirkan di Yasnaya Polyana wilayah Tula, Rusia. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara dan menjadi anak yatim piatu sejak masih. Tolstoy sempat belajar masalah hukum dan bahasa-bahasa Oriental di Universitas Kazan pada 1844. dibalik kejenisuannya bersastra tyernyata para dosen-dosennya menganggap dirinya tidak mampu dan tidak mau belajar.” Kemudian a kembali di tengah-tengah studinya ke Yasnaya Polyana dan menghabiskan banyak waktunya di Moskwa dan St. Petersburg.
Secara unik terjadi peristiwa luar biasa dalam pernikahannya dengan Sofia Andreevna Bers. Pada malam pernikahannya itu, Tolstoy memberikan buku hariannya kepada tunangannya. Buku-buku hariannya ini memuat catatan mengenai hubungan seksualnya dengan para petaninya. Peristiwa itu tidak berpengaruh pada awal kehidupan perkawinan, mereka sangat bahagia dan rukun. Istrinyapun memberikan banyak kebebasan Tolstoy untuk menulis adi karya sastranya. Namun dalam waktu terakhir kehidupan perkawinannya digambarkan sebagai salah satu yang paling tidak bahagia dalam sejarah sastra. Kehidupan perkawinan dengan istrinya semakin tidak baik , yang akhirnya berpengaruh pada pola pikirnya yang semakin radikal. Pengalaman jiwanya yang sangat menyentuh itu bisa saja menjadi inspirasi luar biasa untuk mengungkapkan dalam sebuah karya seni sastra yang luar biasa.

Lima Band Dalam Negeri yang Diam-diam Go International


 
Mocca
Dari awal pemunculannya, grup musik asal Bandung ini sudah menarik publik musik internasional, khususnya Asia Tenggara. Mocca mengawali perjalanan musical mancanegara mereka di Singapura pada tahun 2005. Saat itu album debut mereka dirilis album oleh label asal Singapura, Fruits Records. Setelah itu album Mocca juga dirilis oleh label Malaysia, Jepang dan Korea. Di Jepang dan Korea inilah, Mocca mendapat basis penggemar yang besar. Tercatat sudah lima lagu mereka yang menjadi jingle iklan di Korea dan juga tampil dalam serial televisi di sana. 

Bottlesmoker
Duo asal Bandung ini sudah menjadi langganan pada berbagai festival dan acara musik di Asia. Negara-negara yang telah mereka kunjungi antara lain, Malaysia, Brunei Darusalam, Cina, Singapura, Filipina.  Dan di tahun 2012, Bottlesmoker menambah daftar negara di Asia yang telah mereka jelajahi dengan jadwal panggung mereka di Thailand dan juga Vietnam. Penggemar mereka tersebar dari pulau Sumatera hingga dataran Cina. Duo yang selalu membagikan musik mereka secara gratis di Internet ini juga dirilis oleh  beberapa net label di Amerika Serikat dan juga di Eropa. 


White Shoes and the Couples Company
 Unit musik jebolan Institut Kesenian Jakarta ini menjadi bukti nyata bahwa musik dengan bahasa Indonesia juga dapat berbicara di pentas internasional. Tidak tanggung-tanggung, negara yang telah mereka tembus adalah Amerika Serikat yang dikenal memiliki pasar musik yang sangat ketat. Album perdana mereka dirilis oleh label asal Chicago, Minty Fresh yang sebelumnya sukses dengan band The Cardigans. Di tahun 2008, White Shoes and the Couples Company dua kali menyambangi Amerika Serikat. Pertama untuk CMJ Music Marathon dan SXSW Music Festival. Di tahun 2012, mereka mengadakan tur Eropa yang pertama dengan bermain di dua negara, Perancis dan Belanda.

The S.I.G.I.T
Kuartet rock asal Bandung, The S.I.G.I.T (The Super Insurgent Group Of Interperence Talent) namanya juga kian kencang di kancah musik mancanegara. Setelah sempat dibahas dalam salah satu kolom pada tabloid musik NME di tahun 2005, album debut The S.I.G.I.T yang di Indonesia dirilis oleh FFCuts (sub divisi dari FFWD Records) juga dirilis oleh label Australia, Cavemen. Di bulan Juni 2007, The S.I.G.I.T tur sebulan penuh di beberapa kota di Australia. Setelah itu, tepatnya di tahun 2009, mereka kembali bermain di pentas luar negeri kali ini di Amerika Serikat dan juga Hongkong. Kini Anda dapat vote The S.I.G.I.T atau band-band lokal lainnya untuk mewakili Indonesia pada festival musik Rock and Roots yang akan berlangsung di Singapura akhir Maret 2012 ini.

Gugun and The Blues Shelter

Trio asal Jakarta, Gugun and The Blues Shelter telah membawa musik Blues Indonesia ke kancah internasional. Gugun membuktikan bahwa musik blues tidak hanya milik musisi Afrika Amerika. Sejauh ini Gugun and The Blues Shelter telah bermain di Malaysia, Singapura, Shanghai dan Inggris. Pada panggung mereka di Inggris, Gugun and The Blues Shelter bermain bersama nama-nama besar seperti Bon Jovi, Rod Stewart dan The Killers. Album kelima mereka yang bertajuk Solid Ground dirilis oleh Grooveyard Records yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
 

Revolusi Pendidikan Musik Melalui Music Technology Education

Perkembangan teknologi, mau tidak mau, berkontribusi signifikan terhadap pendidikan musik masa kini. Gagasan untuk mewujudkan pendidikan musik teknologi (music technology education) sebagai metode belajar musik paling mutakhir, yang merevolusi pendidikan musik cara lama, menjadi sebuah keharusan.

Musik dan sejarah umat manusia memiliki umur yang sama tuanya. Setiap kebudayaan selalu diwarnai dengan musik diurat-urat nadinya. Di dunia modern pun, musik tidak bisa dilepaskan dari berjalannya sang waktu. Sehingga, pendidikan musik (music education) telah menjadi bagian yang integral dengan pendidikan umum. Baik secara informal maupun formal, pendidikan musik selalu ada. Bahkan, penelitian demi penelitian membuktikan bahwa pendidikan musik sangat mempengaruhi kecerdasan (baca: IQ) dari seseorang. Dampak dari fakta ini adalah semakin maraknya penelitian untuk mengembangkan cara mengajar (pedagogi) musik.

Dari Pendidikan Musik ke Pendidikan Musik Teknologi

Faktor-faktor penting dalam pedagogi musik yaitu guru musik, kurikulum, dan metodologi. Hal itu menjadi bahan diskusi utama untuk menemukan “cara terbaik” mengajar musik. Kodaly, Orff Schulwerk, Suzuki, Dalcroze, sampai ke Gordon Music Learning Theory, masing-masing mempunyai pendekatan-pendekatan yang khusus untuk mentransferkan musical knowledge kepada anak didik. Mana yang terbaik dari pendekatan tersebut? Ini tentu tidak mudah dijawab. Tapi yang terpenting, masing-masing teori memiliki kontribusi signifikan untuk dunia pendidikan musik. Perkembangan teknologi, di sisi lain, mau tidak mau berkontribusi kepada revolusi dalam pendidikan musik. Ditambah dengan tekanan industri musik, yang semakin bergantung dengan teknologi terkini, mampu menciptakan diferensiasi dari music education ke music technology education (pendidikan musik teknologi. Baca: MTE). Pertanyaannya besarnya: apa itu MTE? Apakah MTE adalah sebuah keharusan atau sekedar tambahan? Apakah hadirnya MTE merupakan sebuah transformasi, evolusi, dan/atau revolusi? Dan, seberapa efektif dan efisienn MTE dibanding pendidikan musik yang konvesional? Tentunya pertanyaan-pertanyaan ini bisa secara exponentially berkembang, karena MTE itu sendiri adalah sebuah “new thing,” sehingga, misalnya kita ambil case study pihak-pihak di sebuah sekolah musik, baik pihak investor, school management, educator, student, maupun parent, mempunyai banyak hal untuk ditanyakan. Sebagai hal yang baru, apakah MTE perlu diajarkan dengan cara yang baru atau “new way?” Itu juga pertanyaan logis lainnya yang harus dicermati.

Duet Compusician dan SMI


Lahirnya majalah Compusician, di tengah belantara musik Indonesia masa kini, menjadi suatu terobosan baru yang perlu untuk semua pelaku di wilayah musik industri, akademis, dan praktis. Majalah ini berani untuk menjadi pioneer untuk berbagi informasi dan edukasi ke semua lapisan tentang musik dan perkembangan teknologi yang menyertainya. Di pihak lain, lahirnya Sekolah Musik Indonesia (SMI) di Solo, yang berfokus ke MTE, menjadi hembusan nafas illahi yang memberikan kehidupan yang baru kepada dunia pendidikan musik Indonesia yang secara jujur bisa lebih dibilang sarat muatan bisnis. SMI berani untuk mensegmentasikan kurikulum pengajarannya kepada MTE, dan ini harus diacungi jempol dan sekali lagi disupport keberadaannya. Duet Compusician dan SMI diyakini akan mampu menjadi gerbong terobosan, sekaligus kereta industri musik dan pasar pendidikan musik Indonesia. Bahkan, bukan tidak mungkin akan membawa leapfrog (lompatan katak), industri ekonomi kreatif Indonesia sehingga mampu berbicara di level dunia. Kenapa tidak? Tidak bisa dipungkiri, dan sudah diakui semua pihak bahwa secara musikalitas, Indonesia sangat kaya. Dengan ratusan suku asli Indonesia, etnik musik Indonesia saja tidak akan habis untuk digali dalam 100 tahun. Yang dibutuhkan adalah terobosan teknologi untuk menggali semua kekayaan ini, dan fasilitas yang ideal untuk sampai ke tujuan. Bagaimana dengan pelaku industri? Para vendor? Karena pada akhirnya peran pelaku-pelaku bisnis sangat menentukan idealisme akan berjalan atau tidak. Sebagai studi kasus, diambil alihnya Digidesign oleh Avid, sehingga lahir versi ProTools M-Powered dari leading audio production, sofware Pro Tools dengan jelas memperlihatkan bahwa para pelaku industri pun sudah bersiap-siap untuk mendukung penuh perkembangan music technology sampai ke konsumen awam. Dikeluarkannya versi Pro Tools yang sangat terjangkau, tentunya sangat mencengangkan bagi early adopter music technology. Masih segar di benak kita, bagaimana untuk sekedar melihat saja begitu sulit. Sekarang, dengan harga semurah telepon seluler pun, kita bisa mulai memakai the leading software, Pro-Tools. Mengenal Music Technology (Teknologi Musik)

Medefinisikan music technology bisa menjadi topik yang menarik dan sekaligus berat di level akademis. Meskipun sedikit teknis, usaha untuk mendefinisikan term tersebut tetap harus diusahakan sehingga komunitas awam bisa lebih mengerti apa sebenarnya music technology, dan tentunya kegunaan dan nilai tambah (value added) nya. Secara sederhana, music technology bisa diterangkan sebagai dampak dari masuknya teknologi komputer ke dalam dunia musik. Dalam dunia akademis istilah music technology lebih sering terdengar, tetapi dalam dunia industri istilah komputer musik mungkin lebih akrab di telinga kita. Untuk mempermudah menelaah spectrum arti dari komputer musik, segitiga musik teknologi atau triad of music technology (Moore, 1990) sangat membantu. Ada tiga elemen yang saling berkait dan mempengaruhi ketika term music technology atau komputer musik dipakai, yaitu Art, Technology, dan Science. Sebagai studi kasus sederhana, software seperti Pro-Tools M-Powered dari M-Audio adalah software audio yang dipergunakan dalam music production, sebagai teknologi yang membantu untuk mengefisiensi proses recording, sehingga data-data musik lebih mudah dimanipulasi. Di sisi lain, Pro-Tools membantu composer, arranger, bahkan performer untuk mengeluarkan ide-ide musikalnya baik dengan sound-sound virtualnya maupun dengan fitur-fitur audio maupun midinya. Dan jauh lebih dalam lagi, Pro-Tools sendiri dilandisi oleh teknologi DSP (digital signal processing) yang adalah murni dari hasil computer science research. Jadi, pada dasarnya Pro-Tools tetap sebuah program komputer. Bisa dilihat disini bahwa ketiga elemen itu akan selalu bersama-sama dalam satu koridor music technology. Keringat dingin bisa membasahi kita yang awam dengan istilah-istilah diatas, tetapi menjadi menarik sekali ketika sebuah sekolah lokal yang lahir dari kota Solo (Sekolah Musik Indonesia, red), berani untuk memposisikan diri sebagai sekolah musik pertama di Indonsia yang berkonsentrasi di Music Technology Education. Dan yang lebih “gilanya” lagi, adalah anak-anak umur 3-4 tahun sudah mulai diperkenalkan dengan penggunaan teknologi sedini mungkin. Apakah mungkin? Apakah efisien? Jawabannya adalah bukan saja mungkin dan efisien tapi harus. Dalam mempelajari “new thing,” harus ada “new way” yang diterapkan. Apalagi di abad ke-21 seperti ini, bukan lagi “digital immigrant,” tetapi anak-anak yang lahir di abad ini sudah disebut “digital native,” artinya adalah mereka secara natural “sudah digital,” dan sudah melek teknologi. Cara berfikir yang multitasking dan multidisiplin ilmu membuat anak-anak abad ke-21 lebih cocok menggunakan pendekatan proyek dalam pembelajarannya (project-based learning). Perpaduan music technology dengan pembelajaran abad ke-21 adalah sebuah solusi cemerlang yang bisa disumbangsihkan anak negeri ini untuk dunia pendidikan musik Indonesia.

We have to start somewhere!


Apakah Indonesia sudah siap dengan Music Technology Education? Sementara standarisasi dari music educataion saja belum ada, apalagi music technology education. Tetapi, seperti sebuah pepatah mengatakan “we have to start somewhere.” Seluruh pelaku dan stakeholder dari industri musik, multimedia, dan kreatif pada umumnya harus mulai menggarap MTE lebih cermat. Pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan tidak bisa tidak, harus mulai memasukkan MTE sebagai salah standar sekolah-sekolah umum. Pendidikan-pendidikan luar sekolah (kursus-kursus musik, red) harus mulai ditata-ulang sehingga tidak hanya profit-oriented, tetapi benar-benar memberi nilai-tambah pada anak didik. Menarik sekali dalam suarat terbuka kepada sekolah-sekolah umum dan komunitas-komunitas lembaga pendidikan di Amerika bulan Agustus 2009, (http://www.doe.mass.edu/news/news.asp?id=5039), U.S. Department of Education Secretary Arne Duncan menyatakan pentingnya pendidikan berdasarkan art . Dia menuliskan: At this time when you are making critical and far-reaching budget and program decisions for the upcoming school year, I write to bring to your attention the importance of the arts as a core academic subject and part of a complete education for all students. The Elementary and Secondary Education Act (ESEA) defines the arts as a core subject, and the arts play a significant role in children's development and learning process. Ketika sebuah negara yang berorientasi kepada pasar bebas dan kapitalisme seperti Amerika saja bisa melihat pentingnya pendidikan musik sebagai suatu pembelajaran yang integral. Apakah kita sebuah negara yang sangat kaya budaya dan seninya masih melihat pendidikan musik sebagai sesuatu yang kelas dua, tiga, atau bahkan terbelakang? Ada tiga value yang harus dijawab sebuah lembaga penyelenggara pendidikan, yaitu value of money, value of academic, dan practical value. Jadi tidak bisa hanya berpusat kepada profit, sementara secara akademis, pendidikan musik semakin melorot kualitasnya. Demikan juga, ketika sebuah lembaga pendidikan hanya berpusat pada teori-teori dan lupa dengan industri, maka lama kelamaan akan mati, karena pada akhirnya industri juga ikut menentukan masa depan. Pendekatan Music Technology Education mampu menjawab ketiga kebutuhan di atas dengan baik. Secara investasi, MTE adalah sebuah sebuah terobosan yang mampu memberi daya tarik lebih bagi investor-investor (baca: orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah musik), sehingga memiliki pangsa pasar yang besar.
Secara akademis, MTE adalah emerging knowledge yang mampu merangkum kebutuhan pembelajaran musik dan sangat menggairahkan untuk penelitian akademis sekalipun. Yang terkahir, sudah jelas secara praktis, yang terjadi di industri sekarang adalah serba teknologi. Bed-room recording menjadi suatu trend yang tidak bisa dipungkiri. Music Technology Education adalah sebuah jawaban. We have to start somewhere!


Source:compusician magazine

Karya Sastra Itu (?)

Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), “fiksionalitas”, “ciptaan” dan sifat “imajinatif” (Wellek dan Warren, 1993:18-20). Sedangkan fungsi sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Ketiga unsur itulah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif (Abrams, 1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis “data” kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127).
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.

Paradigma Filsafat dalam Seni Perfilm-an

Para pendukung wacana film berpendapat bahwa film, secara intrinsik memang penting meskipun terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan estetika yang lebih luas. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai objek kesenian lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Model pendekatan ini dipancing oleh adanya upaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis. Lahirnya modus pendekatan ini juga tak pelak dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh cutural studies pada dekade 1980-an. Dimana segala macam isu representasi akan ditinjau secara politis berdasarkan latar belakang  kelompok sosial atau budaya tertentu, serta selalu mencari tahu siapa yang berada dibalik semua produksi kultural. Menurut perspektif ini, film sebagai produk kultural pastilah digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu.Pandangan semacam ini sangat dipengaruhi oleh paham Gramscian dan Althusserian yang dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri kultural’, dimana film dinilai sebagai salah satu produknya. Semua perspektif ini adalah varian generik dari paham Marxisme.
Sekali film dilihat sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak sebagai gejala modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya urban, dan massa yang tersentralisasi. Identifikasi unsur politik representasi dalam film sebenarnya didasari oleh keeratan hubungan dengan ilmu semiotika, varian ilmu linguistik yang mempelajari tanda yang muncul pada tahun 1970-an. Para peneliti berpendapat bahwa film lebih dari sekedar seni, film adalah sebuah fenomena linguistik. Para peneliti ini mendasarkan diri pada ajaran-ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce. Salah satu pakar semiotika film yang paling berpengaruh adalah Christian Metz. Semiotika film memandang film sebagai bahasa atau setidaknya fenomena menyerupai bahasa yang memungkinkan manusia untuk menggali partikel-partikel di dalamnya. Akibatnya, terbuka kemungkinan baru untuk menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika) dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan.
Meskipun begitu, seorang teoritisi film bernama Joseph D. Anderson berpendapat bahwa optimisme semiotika film ini tidak bertahan lama karena segera tergantikan oleh teori ‘aneh’ psikoanalisa Freudian (dan turunannya) yang digabungkan dengan paham Marxisme. Penggabungan ini dipelopori oleh Jacques Lacan yang mencolek setakaran ilmu psikoanalisa, meramunya dengan sejumput paham Marxis, lalu mengaplikasikannya ke dalam proses analisa sinematik. Kejadian inilah yang disebut oleh teoritisi film Nöel Carroll sebagai ‘mistifikasi film’. Carroll menilai bahwa penggabungan teori tersebut hanya akan menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting instructor of political ideology). Contohnya, film-film Hollywood akan dinilai mengusung nilai-nilai kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Belum lagi psikoanalisa yang akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.
Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis/Marxian ini dapat diindera pada teori aparatus yang salah salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry bukan hanya melihat cinematic apparatus (teknik seperti editing, camerawork dan proyeksi ke layar) semata sebagai perangkat ideologis, meskipun pernah dalam salah satu tulisannya ia menganalogikan film dengan mimpi (seperti halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita [unconciousness]). Ia menambahkan bahwa kesamaan antara film dengan mimpi ini bisa dilihat dalam proyeksi layar ketika sebuah film dipertunjukkan. Baudry menambahkan bahwa proyeksi layar putih film merupakan representasi dari layar dalam mimpi kita yang analoginya persis seperti buah dada seorang ibu (berkaitan dengan konsep Oedipus complex) yang menurut dia juga berwarna putih. Analogi ini berdasar pada konsep psikoanalisis Bertram Lewin yang ia adopsi dalam menganalisa interpretasi film. Carroll dalam salah satu bantahannya terhadap asumsi dan analogi semacam ini mempertanyakan basis dari kesimpulan Baudry mengenai layar film sama dengan buah dada ibu:
One must at least question the purported screen/breast association. What is its basis? And how extensive is it? Maybe some white people envision breasts as white and then go on to associate the latter with white screens. But not everyone is white. And I wonder if many whites associate breasts and screens. Certainly it is not an intuitively straightforward association like that between guns and penises. For example, screens are flat, and lactating breasts are not.  A screen is , ideally, uniform in color and texture; but a breast has a nipple.
Kesimpulannya, asosiasi yang Baudry cantolkan terhadap layar putih sinema dengan buah dada bukan hanya irasional, tetapi juga asosiasi objek yang tidak intuitif. Setidaknya asosiasi pistol dengan penis misalnya lebih mendekati karena tekstur phallic-nya, namun buah dada dengan layar putih yang datar sama sekali tidak kongruen.
Ilustrasi di atas adalah salah satu contoh bentuk teori interpretasi sinema yang melihat film sebagai gejala dari kompleksitas kehidupan manusia, dan kebanyakan dari gejala tersebut dilihat dari teropong psikoanalis/Marxis yang bersifat patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai bentuk hasrat yang direpresi oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit dalam bentuk sinema. Meminjam istilah Anderson, ‘film hanya akan dianggap sebagai pasien, lalu para teoritisi film bertindak sebagai psikiater’. Para teoritisi juga akan cenderung mencari tahu agenda politik apa yang tersembunyi di balik sebuah medium film. Teoritisi model ini banyak berasal dari para feminis, poskolonialis, dan teoritisi queer cinema yang menganggap bahwa kajian film harus bisa mementahkan kekuatan opresif yang sangat mungkin dikandung oleh sinema.
Gelombang teori berikutnya datang dari paradigma posmodernisme seiring merebaknya paradigma ini dalam kajian humaniora. Posmodernisme sering didefinisikan sebagai “apa saja yang bukan bagian dari modernitas.” Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis yang baku, bahkan mungkin saja ia tak punya teori, hanya segumpalan tingkah polah dan cara pandang, mereka tetap punya sikap yang kurang lebih sama terhadap film, yakni semata sebagai centang perenang arus penanda (signifier). Para posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan seksama lalu membicarakan isinya. Lagi-lagi, umumnya para posmodernis hanya tertarik untuk membicarakan film secara ideologis, seperti juga yang dilakukan oleh para teoritisi yang karakternya sudah dijelaskan di depan, seperti psikoanalisa, Marxisme, feminisme, queer movement, dan tradisi berpikir lain yang serupa. Gelombang wacana ini kemudian akan dikritik keras oleh generasi berikutnya yang menamakan diri ‘Neoformalis’, lengkap dengan pendekatan yang mereka sebut ‘pendekatan film kognitif’ (cognitive film approaches).
Orang pertama yang memperkenalkan usaha-usaha neoformalis adalah Victor F. Perkins lewat bukunya Film as Film (1972). Meskipun belum menggunakan label ‘neoformalisme’, Perkins sudah bersikeras dengan pendapat bahwa film harus dikaji tanpa ada kaitan dari disiplin ilmu dan seni yang lain. Ia mencari celah agar kita bisa menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis. Label ‘neoformalisme’ baru resmi diperkenalkan oleh para ilmuwan film dari Universitas Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan Kristin Thompson.
Asumsi-asumi neoformalis berkerja dengan didasarkan pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Pendekatan neoformalis Bordwell dan Thompson paling kentara terbaca lewat buku mereka, Film Art, yang edisinya sudah diperbaharui sebanyak sembilan kali sejak pertama terbit tahun 1977. Thompson menerbitkan Eisenstein’s Ivan the Terrible: A Neoformalist Analysis dan Breaking Glass Armor sebagai manifestasi konkret metode analisis neoformalis terhadap sebuah film atau beberapa film ‘movement’, sementara Bordwell banyak menyoroti tradisi poetic dalam karya-karya Carl Theodor Dreyer dari Denmark serta Yasujiro Ozu dari Jepang. Bersama Thompson dan Janet Steiger, Bordwell menggali historiografi sinema secara detail dalam buku Film History: An Introduction. Neoformalisme membawa Bordwell dan Thompson menjadi pasangan pemikir film paling subur sepanjang abad ke-20 bahkan hingga hari ini. Tidak berhenti di Neoformalisme, tulisan-tulisan yang dipublikasikan Bordwell khususnya pada tahun 1985 ternyata menjadi tonggak penting lahirnya pendekatan baru, yang kemudian dikenal dengan ‘pendekatan film kognitif’.
Dalam Narration in the Fiction Film (1985) Bordwell mengembangkan teori naratif formalisme Rusia ke dalam dimensi yang sama sekali baru. Dimensi ini mengintegrasikan cara memahami narasi dan narasi yang terkandung dalam sebuah film atau karakteristik dari genre atau movement film tertentu seperti Soviet Montage Cinema (Eisenstein dkk) atau French New Wave (Godard, Truffaut dan Rohmer). Teori ini berangkat dari konsep psikologi kognitif yang digagas ilmuwan blasteran Austria-Inggris E.H Gombrich. Lebih lanjut, Bordwell memperkenalkan sebuah konsep yang dinamakan schemata. Schemata adalah konsep yang diadopsi dari psikologi kognitif yang intinya adalah sebuah sistem pengorganisiran informasi kedalam kategori-kategori yang akan dipergunakan kembali ketika kita menemukan situasi baru dengan informasi baru pula agar proses pemahaman kita terhadap situasi dan informasi baru tersebut menjadi lebih mudah. Dalam konteks menonton film, schemata berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film naratif.
Menurut pendekatan kognitif Bordwell ini, menonton film bukanlah merupakan pengalaman yang komplet. Penonton tidak akan disuapi secara otomatis oleh total keseluruhan cerita (story) yang disampaikan, atau disebut fabula dalam bahasa formalis Rusia, sehingga penonton menggunakan schemata untuk mengorganisir informasi lewat plot yang diberikan dalam aransemen fillm tersebut  (disebut sebagai syuzhet) hingga menghadirkan representasi mental yang koheren. Schemata bisa diidentifikasi dari petunjuk-petunjuk yang terdapat di sekujur plot. Hadirnya petunjuk ini tak dapat lepas dari bahasa atau gaya sinematik yang digunakan untuk menemani pengalaman audiens selama menonton. Namun petunjuk bukanlah keseluruhan cerita. Petunjuk meninggalkan banyak sekali ruang kosong untuk diisi oleh penonton. Keberadaan ruang kosong ini memungkinkan penonton untuk menarik semacam kesimpulan, dan kesimpulan itu akan digunakan kembali itu mengisi ruang kosong tadi.
Seiring film bercerita, penonton akan melihat berbagai peristiwa dalam plot. Penonton merangkai ulang kejadian tersebut, merunut kembali urutan dan pola relasinya sehingga membentuk keseluruhan cerita (fabula). Namun, karena kegiatan ini berlangsung selama proses menonton, yang artinya film bisa saja berbelok arah kemanapun ia mau, maka penonton juga harus terus menarik kesimpulan. Tak jarang kesimpulan itu salah, diperbaiki kembali, lalu lahir hipotesis baru, meruntuhkan kembali hipotesis, bahkan tak jarang penonton harus membuang kesimpulan yang sudah ada sebelumnya demi mencapai pemahaman atas sebuah film.  Ada film yang gemar mengkhianati hipotesis penontonnya sehingga penonton harus melahirkan kesimpulan lagi dan lagi.
Namun, seperti juga tren intelektual yang sudah-sudah, inovasi Bordwell juga tak jarang dilempari kritik, terutama dari mereka yang masih keukeuh menganut wacana psikoanalisa-Marxisme-Lacanian-Althusserian-Postrukturalis, yang secara nyata lebih memihak pada aspek interpretasi dalam menganalisa film. Sebagai respon, Bordwell berkolaborasi dengan Nöel Carroll untuk menulis semacam manifesto dengan kedok antologi. Mereka memberinya judul Post-Theory: Reconstructing Film Studies (1996), judul yang terhitung sangat provokatif. Karya terbitan tahun 1996 tersebut diilhami oleh karya-karya mereka berdua sebelumnya, seperti A Case for Cognitivism (1989) karya Bordwell dan Mystifying Movies (1988) karya Carroll. Dalam karya nan kontroversial tersebut, Bordwell dan Carroll menyebutkan bahwa kognitifisme adalah sebentuk alternatif bagi teori film kontemporer, yang mendasarkan dirinya pada eksplanasi psikologis yang bersifat kognitif atas alam pikiran, emosi, dan tindakan, yang cenderung berlawanan dengan psikoanalisa, Marxisme, dan posmodernisme dalam hal interpretasi makna.
Para pendukung tradisi terdahulu pun balik mengkritik Bordwell dan Carroll, dua orang ini dinilai terlalu reduksionis, dingin, dan tentu saja sombong. Warren Buckland contohnya, dengan penuh nafsu mempublikasikan tulisannya Critique of Poor Reason di jurnal film Inggris Screen dalam rangka mendebat Mystifying Movies-nya Nöel Carroll beserta semua karakteristik kognitif yang dipanggulnya.  Carroll menyangkal semua kritikan itu dengan Cognitivism, Contemporary Film Theory and Method: A Response to Warren Buckland yang ditolak oleh jurnal Screen untuk diterbitkan. Ada rumor bahwa penolakan Screen tersebut sebenarnya dididasari oleh ketidak-setujuan epistemologis mereka dengan teori-teori kognitif Nöel Carroll sendiri. Tulisan ini pastinya bukan tempat yang tepat untuk membahas perdebatan alot panjang lebar antara para penganut pendekatan kognitif dan ‘lawan-lawan intelektual’ mereka, tapi saya kira cukuplah dengan mengatakan bahwa pendekatan film kognitif tidak selalu diterima dengan mudah oleh banyak pakar dalam arena kajian film.
Terlepas dari segala kegaduhan teoritis ini, Bordwell dan Carroll telah berhasil memperluas jangkauan pendekatan film kognitif sehingga hari ini, pendekatan itu telah begitu familiar dipakai di berbagai universitas di Eropa dan Amerika Serikat. Gerakan intelektual ini telah mewujud dalam setiap karya yang menjadikan teori Bordwell dan Carroll sebagai kerangka berpikirnya. Secara perlahan, pendekatan kognitif ini juga sudah ramai dilibatkan dalam seminar, jurnal ilmiah, dan lain-lain. Salah satu yang paling masyhur adalah Society for Cognitive Studies of the Moving Image (SCSMI) dimana Bordwell berandil besar dalam pendiriannya. Setiap tahun, para aktifis institusi ini bertemu dan mempresentasikan karya-karya mutakhir mereka.
Secara keseluruhan, hadirnya pendekatan film kognitif telah berdampak pada banyak hal, terutama perbedaan cara dalam memandang sinema. Hal ini tentu tak terlepas dari disiplin ilmu yang melatari perkembangannya, seperti neurological science, cognitive science, evolutionary biology, evolutionary psychology, dan juga metode kritik neoformalisme sebagai poros konseptual yang paling penting. Bahkan sekarang ini, ilmuwan Uri Hasson tengah mengembangkan apa yang ia sebut ‘Neurocinematics', salah satu varian generik yang paling anyar dari pendekatan film kognitif.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More