Ajeng, Kesenian Karawitan Langka


detail berita

Pada 1930-an, ajeng adalah kesenian yang mengalami masa keemasan di wilayah Karawang. Namun, sekarang ini keberadaannya sudah semakin sulit ditemui.

Menurut beberapa tokoh kesenian Karawang, kata ajeng berasal dari kata wilujeng atau pangajeng- ngajeng yang berarti menyambut tamu. Biasanya kesenian ini ditampilkan pada saat penerimaan tamu agung yang dikolaborasi dengan tari soja (penghormatan) kepada tamu yang datang ke Karawang pada saat itu.

Bahkan ajeng juga dijadikan sebagai media untuk menghantarkan atau mengarak pengantin keliling kampung. Biasanya kesenian ini dipentaskan dua kali, siang dan malam hari.

Pada siang hari, kesenian ini dilaksanakan pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Pementasan ini untuk mengarak pasangan pengantin. Sementara malam harinya, sekira pukul 20.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB kesenian ini sebagai pelengkap pesta.

Tidak sedikit warga yang tertarik mengundang ajeng untuk melakukan pagelaran karena ingin mendengarkan alunan musik yang dimainkan dalam tangga nada pelog (laras) yang berasal dari alat bunyi- bunyian, seperti kendang, ketuk, gong, saron, bonang,kedempung, kecrek, dan terompet.

Kesenian ajeng telah menyatu dengan kehidupan masyarakat pada waktu itu, di mana alunan nada yang ditampilkan tanpa menghadirkan juru kawin ini mampu mengoptimalkan fungsi waditra dalam menyampaikan lagu dalam bentuk instrumental yang dinilai memiliki kekuatan magis.

Alunan musik karawitan yang bertautan ini menimbulkan harmoni irama yang mampu mempengaruhi jiwa dan menimbulkan rasa kagum terhadap wibawa seni yang ditontonnya itu, sehingga mereka seolah dibawa untuk mengingat keagungan para leluhur yang sudah meninggal.

Lagu-lagu yang dimainkan juga bentuk khayalan dan penghormatan mereka akan jasa para leluhur yang berjasa membuat sawah yang luasnya mencapai ribuan hektare, mereka yang tekun bekerja, suka menolong, jujur, dan memiliki sifat pemberani.

Dalam perkembangannya, kesenian ajeng yang termasuk kesenian buhun ini telah menginspirasi munculnya kesenian khas Karawang lainnya, seperti topeng banjet. Kesenian ini mengambil lagu-lagu dari ajeng. Hal itu terlihat dalam lagu Sulanjana, Gonjingan, dan Tikar Loger.

Berdasarkan penuturan Abah Iying, pelaku kesenian ajeng, dirinya pernah melakukan pementasan di depan Ratu Belanda Wilhelmina ketika berkunjung ke Kabupaten Karawang. Pertunjukan itu dilakukan dua kali di Alun-alun Karawang. Abah Iying mengaku bangga bisa memperkenalkan kesenian itu di depan tamu terhormat.

Dalam pementasannya, ajeng membawakan 72 lagu secara terus-menerus selama dua malam. Tak heran, jika masa kolonial menjadi masa keemasan kesenian ajeng. Begitu juga pada saat revolusi kesenian ini masih bertahan.Pada masa itu hampir ada delapan grup kesenian ajeng di Karawang

Tercatat ada grup Ciong di Selang, Telagasari; Grup Gateuw di Pangasinan, Telukjambe; Grup Kaman di Karangpawitan; Grup Rusman di Lemah Duhur, Rawamerta; Grup Nyumplong di Jayanegara, Cikampek; Grup Alip di Kobakbiru,Telukjambe; Grup Astem di Klari; dan Grup Entuk di Lamaran, Karawang.

Pelaksana Bidang Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang Kosasih mengaku sudah menginventarisasi berbagai warisan seni dan budaya Karawang. Menurut dia, hingga saat ini ajeng sudah turun-temurun sampai empat generasi. Hanya, saat ini tinggal dua orang saksi hidup atas kesenian itu, yakni Abah Iying dan Abah Bawon yang usianya sudah di atas 80 tahun.

Kosasih menyebutkan, pudarnya kesenian ajeng terjadi ketika memasuki orde baru, di mana serbuan musik modern, baik dalam negeri maupun luar negeri menggeser kesenian tradisional di masyarakat.

Penyebab hampir punahnya ajeng dikarenakan kesenian ini cenderung tertutup karena regenerasinya hanya dilakukan di lingkungan keluarga. Guna menghidupkan kembali kesenian ajeng,pada 2005 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat berusaha mengangkat kembali kesenian tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More