JUDUL tulisan ini terdengar sangat pesimistis, apa memang demikian keadaan zaman (modern) sekarang?
Mario Vargas Llosa dalam essai “Matinya Para Penulis Besar” merujuk
buku yang baru-baru ini terbit berjudul Ia Mort du grand ecrivain
karangan Henri Raczymow yang pada intinya menyatakan ditengah demokrasi
liberal dan pasar bebas kita nyaris tidak mungkin lagi mengharapkan
kemunculan “para penulis besar” sebagaimana yang pernah dipresentasikan
oleh figure seperti Voltaire, Zola, Gide, dan Sarte. (Jurnal Sajak, Vol. II, 2011).
Inti
essai Vargas Ilosa adalah budaya yang kini didominasi oleh kapitalisme
pasar telah mendangkalkan ruang suci dan alternatif (dimana dulu sastra
memeliki tempat dan otoritasnya) kini mengalami pendangkalan sampai pada
degradasi paling dasar; keadaan sosiologis yang nyaris mustahil memberi
kesempatan untuk tumbuh lahirnyanya “pengarang-pengarang besar” yang
memiliki pancaran prestise dan otoritas kepengarangan yang melampaui
lingkaran pembacanya; soal-soal dalam daya kreatif dan artistiknya yang
dapat membut si pengarang menjadi penjelmaan publik, sebuah arketip yang
ide-idenya, pendapat dan cara hidupnya, gesturnya, obsesi-obsesinya
menjadi tauladan bagi masyarakat. Sebagaimana di masyarakat kita pernah
hidup—dengan kehormatan dan prestise--binatang jalang-- Charil Anwar;
begitu juga dengan TS. Elliot, Albert Camus, Kafka, atau Octavio Paz
dalam zamannya adalah pribadi-pribadi pengarang yang masih menempati
wilayah suci, memandarkan aura magis dan memainkan peran bak agama. Lalu
mengapa tak ada penulis kontemporer sekarang yang bisa seperti para
pendahulunya dengan semacam janji keabadian itu?
Hari-hari
ini buku dan karya sastra bukanlah paspor menuju keabadian melainkan
budak-budak kekinian—kedisinian—mereka yang menulis buku telah
dilengserkan dari derajat kemagiasan di mana dulu mereka dimahkotai
gelar kenabian. Pengarang dan bukunya sekarang tak ubahnya dengan
masyarakat kota yang dibekukan, di mana masyarakat dididik dalam sebuah
pabrik dan keluar sebagai produk instan lagi prematur. Sastra
seolah-olah telah dijadikan sama dengan produk sabun mandi atau sikat
gigi sebagai produk industrial yang di pabrik untuk menghasilkan satu
prodak yang instan, dan nyaris seragam.
Narsisme
dan individualisme yang pada tahapan selanjutnya telah menggeser dan
menghapuskan kesenangan seorang pengarang akan masa lalu dan keasyikan
mereka terhadap imajinasi dan ramalan masa depan. Sastra kemudian
diprovokasi oleh nafsu yang terburu-buru sebab tuntutan yang serba cepat
dan harus terpenuhi sekarang dan di sini. Masyarakat pasar yang kelewat
konsumtif; yang tak mau menunggu untuk dipuaskan, tak tahan dengan
kegelisahan dan gejolak untuk menunggu pencarian makna. Muncullah para
penulis bintang dari jagad hiburan super klangenan yang tak terelakan
telah dibesarkan oleh anak kandung kapitalisme pasar—televisi—yang telah
berhasil menjejalkan kepada kita humor, sentimen, seks, emosi, yang
kita butuhkan untuk mengatasi rasa bosan hidup di kolong langit ini.
***
Di
tengah situasi semcam itu, masih adakah tempat untuk puisi? Dalam jagad
puisi, bahasa sesungguhnya menjadi sebuah wilayah, sebuah daerah. Ia
terjaga. Seperti entitas yang selamanya tidak berubah lagi. Di sana,
bahasa menandakan suatu waktu, suatu masa, keadaan. Di sana, bahasa
menyatakan penggunanya, pemakainya. Penggunanya kali ini seorang
penyair, Sabiq Carebesth. Pilihan katanya dalam buku kumpulan sajak “Memoar Kehilangan” ini,
juga diksi dalam puisi-puisinya, menandakan bahasa sebagai sebuah
waktu. Waktu yang dibekukan dalam bahasa dan bahasa yang dibekukan dalam
waktu dengan tujuan menempuh jalan kegilaan untuk melawan situasi yang
serba kini, di sini, melawan kenyataan yang didangkalkan dan produk
budaya yang mengalami degradasi akibat pasar seperti apa digambarkan
Vargas Llosa di atas.
Puisi-puisi
Sabiq dalam kumpulan ini, walau rata-rata ditulis tahun 2010 dan 2011.
Tetapi 2010 dan 2011 bukan lagi menandakan realitas bahasa. Dalam bahasa
yang digunakan Sabiq, 2010 dan 2011 hanya sebagai dokumen waktu. Bukan
waktu sebagai kehidupan yang menahan kita di dalamnya. Realitas ini sama
seperti seseorang yang kehidupan internalnya ditandai oleh
produk-produk, ungkapan, rasa bahasa maupun perspektif-perspektifnya
yang semuanya datang dari masa yang sama. Namun realitas internal ini
berada dalam realitas ekstenal yang seluruhnya datang dari masa yang
lain. Sebuah gerhana realitas dan gerhana waktu sekaligus.
Gerhana
waktu yang membuat puisi-puisi Sabiq seperti sebuah perjalanan tidak
untuk menempuh perjalanan itu sendiri, tetapi justru untuk berada dalam
kendaraan yang mengangkutnya, yaitu bahasa: pujalah di dinding sepimu.
Dalam kendaraan ini (dinding sepimu), kita kemudian bertemu dengan
banyak hal dari berbagai perjalanan yang sudah berlangsung,
pertemuan-pertemuan maupun perpisahan-perpisahan yang sudah sudah
terjadi. Tetapi dalam kendaraan ini pula kita bertemu dengan kehilangan
yang terus berlangsung, terus-menerus, di tengah banyak hal yang sudah
terjadi. Dia yang kemudian melepaskan batas-batas ontologis untuk
menghadirkan tatanan waktu yang dibawa oleh puisi. Mungkin inilah cara
Sabiq untuk melawan sekaligus menciptakan ruang alternatif.
Afrizal Malna dalam pengantarnya untuk buku sajak “Memoar Kehilangan” ini
menyebut beberapa pilihan kata dalam puisi Sabiq seperti: kanvas
jiwaku, semesta, kalbu, mahkota, senandung, seruling, nun muram, di
bibir nasib, sulam kelambu merupakan diksi yang membuat bahasa berhenti
di suatu waktu atau suatu masa. Ungkapan kanvas jiwaku mengandaikan
sebuah masa dimana seniman pelukis masih menempatkan roh sebagai
pencitraan terhadap seni lukis yang hidup, “jiwa yang terlihat” dalam
pengertian S. Sudjojono (jiwa ketok).
Hubungan
antara manusia atau seorang seniman dengan media dan peralatan masih
berada dalam hubungan langsung, berada dalam pesona yang memenuhi
dirinya. Hubungan ini di masa kini kian menjadi hubungan materialistis
atau fungsional. Perubahan ini berlangsung bersama dengan menghilangnya
diksi kalbu yang hampir tak pernah lagi digunakan dalam komunikasi
sehari-hari. Dunia kalbu, suara hati yang pernah romantik itu, tenggelam
bersama berbagai perubahan yang melandanya. Ketika kenangan berhenti,
dan waktu terus bergerak, sejarah terus berubah, kenangan kemudian
menempuh jalannya sendiri, menempuh pencariannya sendiri. Konsistensi
seperti ini bagi Sabiq, dan saya menyetujuinya, adalah jalan kegilaan
yang memang harus dilakukan. Karena kenangan tidak sama dengan rapuhnya
bahasa yang ikut berubah bersama dengan perubahan sosial-politik. Dalam
hal ini, kita tidak bisa berharap memperlakukan bahasa sebagai bagian
dari infrastruktur sejarah.
Menahan
bahasa untuk berhenti pada batas waktu tertentu, dalam hal ini
signifikan untuk melawan perubahan yang kian menghancurkan kualitas
hidup maupun imajinasi sosoial kita bersama. Interior puisi seperti yang
dilakukan Sabiq dalam puisi-puisinya ini, pada satu sisi seperti
melawan proses destabilisasi bahasa yang berlangsung terus-menerus sejak
pemerintahan Orde Baru. Bahasa menjadi bagian dari mode yang terus
berubah bersama dengan perubahan kekuasaan, pergeseran modal dan pasar,
maupun perubahan gaya hidup. Sabiq menyebutnya sebagai “metafora waktu”,
sebagaimana dengan salah satu judul puisinya: Aku terlempar pada
bayangan hampa. Dari metafora kecantikan setubuh masa. Waktu sebagai
dokumen beralih menjadi waktu sebagai memori. Memori yang terlempar,
tersingkirkan. Bayangan di sini menjadi penting sebagai perayaan atas
memori yang terlempar itu. Bahasa yang dihentikan atau terhentikan dari
perjalanan perubahannya, dalam puisi Sabiq menjadi sebuah entitas dimana
kita bisa menyimpan kepercayaan-kepercayaan kita, sejarah identitas,
dalam peralihan waktu seperti ini. Selamat Membaca.***
|
oleh Sabrina Puisi Mubarak, Peresensi adalah penikmat sastra dan filsafat, tinggal dan bekerja di Jakarta. |
0 komentar:
Posting Komentar