Steve Liem Tjoan Hok (lebih dikenal dengan nama Teguh Karya; lahir di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 pada umur 64 tahun) adalah seorang sutradara film legendaris Indonesia. Teguh Karya adalah pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia . Film-filmnya melahirkan banyak aktor dan aktris terkemuka Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Alex Komang.
Sebelumnya dikenal sebagai pemain sandiwara di akhir 1950-an waktu masih
menggunakan nama Steve Lim Tjoan Hok dalam pementasan-pemantasan yang diadakan
oleh ATNI. Walaupun juga sudah mendapat pendidikan dan sekaligus praktek
pembuatan film pada Perusahaan Film Negara (PFN) namun Teguh masih belum
berkecimpung di film. Teguh masih tetap “setia” dengan dunia seni pertunjukan
atau teaternya, terlebih setelah pada 1965 membentuk Teater Populer.
Baru pada 1971 dia benar-benar aktif di film dengan membuat Wajah Seorang
Laki-laki. Film yang cerita dan skenarionya ditulis Teguh sendiri itu, walaupun
kurang mendapat sambutan penonton namun para kritikus dan sejumlah media menilai
dan menyambut sebagai sesuatu yang positif. Keberadaan film Teguh ini bahkan
dikatakan sebagai film unikum yang patut dipuji.
Selesai itu, Teguh terus membuat film, namun sesekali tetap memproduksi dan
menyutradarai pertunjukan teater bersama Teater Populer-nya. Film-film yang
lahir dari tangannya senantiasa meraih penghargaan dari berbagai festival baik
dalam maupun luar negeri.
Walaupun film telah dikenal Teguh Karya saat masih kuliah di ATNI (Akademi
Teater Nasional Indonesia) pada 1950-an akhir, dan bahkan sempat mengikuti
program workshop produksi film yang diselenggaraklan oleh PFN (Perusahaan Film
Negara) pada awal 1960-an, namun Teguh Karya masih tetap setiap dengan kegiatan
teaternya.
Teater dengan nama Teater Populer yang didirikan dan dipimpinnya itu tak
terhitung berapa kali sudah tampil mementaskan naskah-naskah dari pengarang
besar seperti Alice Gerstenberg, Norman Barash, Nikolai Gogol dan lain-lain.
Setiap kali tampil pada masa itu, sambutan penonton luar biasa. Garapan teater
Teguh sangat komunikatif. Kekuatan bukan saja ada pada kempuan akting
aktor-aktris panggung yang terlibat tetapi juga penyutradaraan, penataan set
panggung, manajemen pertunjukan, dan lain-lain. Maka, pada masa itu, setiap kali
Teater Populer tampil di berbagai tempat seperti antara lain Taman Ismail
Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta dan lain-lain, orang-orang sudah siap menanti.
Teguh bukan saja sebagai sutradara, tetapi dia memposisikan diri sebagai orang
yang paling bertanggungjawab atas semuanya, tentu dengan pendekatan pembinaan
sesuai yang dimiliki. Dan pendekatan itu selalu memberikan kekaguman serta
kebanggaan bagi murid-muridnya.
Simaklah apa kata Slamet Rahardjo, salah seorang muridnya yang tumbuh dan
dibesarkan lewat Teater Populer: “Teguh Karya adalah ‘suhu’. Dia menjadi semacam
sentrum magnit yang gelombang getarannya sanggup membuat para anggota kelompok
terus-menerus merasa ‘demam berkesenian’. Terus-menerus merasa harus menggali
agar kekurangan bisa dilengkapi. Terus menerus ‘hanya’ memikirkan teater dan
seni. Dia adalah guru, sahabat, dan sekaligus juga bapak. Pada Teguh, para anak
didiknya tidak hanya belajar teater dan kesenian saja, tetapi sekaligus juga
belajar tentang kehidupan agar bisa tetap berdiri meski kesulitan datang
bertubi-tubi.”
Bahkan Asrul Sani saat melihat kegiatan dan hasil karya teater Teguh Karya,
memberikan pendapat: “Semenjak semula bagi Teguh Karya, teater adalah sesuatu
yang serius”.
Berteater hingga bertahun-tahun bersama anak didiknya, tak pernah membuat
Teguh merasa lelah. Bahkan kerasnya “pertarungan” Teguh ini sempat mendapat
sorotan dari media massa.
Media massa mengangap, Teguh Karya terlalu keras pada pendiriannya untuk
setia pada teater, sementara itu “bekerja” sebagai orang teater masih belum
memungkinkan untuk memberikan penghidupan yang layak. Menanggapi hal ini, saat
itu, Teguh Karya menjawab: “Semuanya harus dicari, dibentuk, dan dipelihara.
Semuanya membutuhkan kerja keras. Tetapi jangan juga salah, semakin kita dekat
dan bisa membuka pintu teater maka sesungguhnya semakin susah. Karena itulah
kita terpanggil untuk tetap berada di dalamnya.”
Keakraban Teguh Karya bersama kelompoknya pada teater, menjadikannya begitu
kental dengan dunia kesenian. Hingga sampai pada suatu masa, ketika Teguh
menganggap bahwa teater memiliki keterbatasan dalam mengekspresikan idenya, maka
lalu dipilihlah film sebagai media baru. Tahun 1971 adalah awal persentuhan
Teguh Karya dengan dunia film. Pada tahun tersebut, dari tangannya lahir film
Wajah Seorang Laki-laki yang pemainnya adalah rata-rata mereka yang biasa
bermain pada teaternya sebelum-sebelumnya seperti Slamet Rahardjo, Tuti Indra
Malaon, dan lain-lain.
Secara bisnis film pertama Teguh ini gagal. Secara artistik pun kurang
mendapat tempat di Festival Film Indonesia (FFI) 1972. Namun, apa yang menjadi
kelebihan dalam film ini banyak dibicarakan oleh para kritikus dan media masa.
Bahkan juga dianggap memiliki kecenderungan gaya yang berbeda dibandingkan
dengan karya-karya sutradara lainnya pada masa itu. Teguh dianggap berpotensi
untuk melahirkan film-film berkualitas setelah film pertamanya itu.
Tahun-tahun berikutnya, benar saja, Teguh tampil memberi warna baru dalam
sejarah perfilman nasional. Pengaruh latar belakang sebagai orang teater yang
sangat dekat dengan kesenian, apalagi sebelumnya sangat dikenal dengan detailnya
baik terkait dengan penanganan akting para pemain, setting atau property,
komposisi, dramatic, irama dan lain sebagainya, sangat terasa. Hal-hal inilah
yang menjadikan karya-karya film Teguh bukan saja sekedar beda dengan
kecenderungan karya-karya film sutradara lain tetapi juga memiliki makna dan
nilai yang sangat berarti bagi masyarakat penontonnya.
Hampir semua film-film Teguh Karya, akhirnya, setelah Wajah Seorang
Laki-laki (1971) sampai dengan karyanya yang terakhir Pacar Ketinggalan Kereta
(1989) sukses meraih penghargaan di berbagai festival baik dalam mapun luar
negeri.
Sumber : Sinematek Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar