Gaya lukisan maestro pelukis Indonesia, Affandi Koesoema, yang akrab
disapa Affandi, hingga saat ini dipertanyakan. Padahal pelukis kelahiran
1907 itu telah meninggal pada 1990. Hal itu terungkap dalam diskusi
buku The Stories of Affandi di Museum Affandi, Senin, 9 Juli 2012.
Ada yang menyebut lukisan Affandi bergaya surealis, realis, dan ekspresionis. "Meski banyak yang bilang karya Affandi bergaya surealis, sebenarnya Affandi ingin dilihat sebagai seorang realis," kata Pembantu Rektor II Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, M. Agus Burhan, Senin.
Menurut Agus, perjalanan seni lukis Affandi dapat dilihat lewat beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan masa pencarian yang ditandai dengan memperdalam realisme. Meski awalnya sempat mendua dengan gaya realis dan ekspresionis, Affandi mulai cenderung bergaya ekspresionis, seperti pada karya lukisan berjudul “Iboekoe” (1943), “Karosel” (1943), “Kamarkoe” (1943), “Burung Mati di Tangankoe” (1945), serta “Laskar Rakyat Mengatur Strategi” (1946). Karya sketsa dan lukisan hitam-putihnya juga menunjukkan arah yang kuat pada gaya ekspresionisme.
Gaya lukisan Affandi, kata Agus, makin matang setelah belajar di Shantiniketan dan pameran keliling India dan Eropa pada 1949-1955. Kematangan itu ditandai dengan keliaran Affandi memakai teknik pelototan dari tube cat minyak dan basuhan tangan langsung pada kanvas. "Teknik itu menjadi kekhasan Affandi," ujarnya. Karena itu pula, banyak orang terkecoh dengan menyebut lukisan Affandi yang tak memakai teknik pelototan bukan karya Affandi.
Kolektor lukisan, Oei Hong Djien, pun menegaskan bahwa segala teknik yang dilakukan Affandi tidak ditemukan di bangku akademik. "Affandi itu seorang otodidak. Lukisannya penuh kadar emosi," kata Oei.
Ketua Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, St. Sunardi, menambahkan, membaca karya lukisan Affandi tak membuat kening berkerut. Meski tema karyanya berat, "Justru melihat karya Affandi membuat kami serius untuk menertawakan diri sendiri. Itu hebatnya Affandi," kata Sunardi.
Buku itu berisi kumpulan tulisan dari 15 penulis yang mempunyai kedekatan emosional dengan Affandi, termasuk Sumardjono, sopir pribadi Affandi. Peluncurannya dilakukan pada Ahad pekan lalu oleh Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. "Ini adalah buku pertama yang menulis soal Affandi dari sisi kekeluargaan, bukan hanya karyanya," kata cucu Affandi, Helfi Dirix.
Ada yang menyebut lukisan Affandi bergaya surealis, realis, dan ekspresionis. "Meski banyak yang bilang karya Affandi bergaya surealis, sebenarnya Affandi ingin dilihat sebagai seorang realis," kata Pembantu Rektor II Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, M. Agus Burhan, Senin.
Menurut Agus, perjalanan seni lukis Affandi dapat dilihat lewat beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan masa pencarian yang ditandai dengan memperdalam realisme. Meski awalnya sempat mendua dengan gaya realis dan ekspresionis, Affandi mulai cenderung bergaya ekspresionis, seperti pada karya lukisan berjudul “Iboekoe” (1943), “Karosel” (1943), “Kamarkoe” (1943), “Burung Mati di Tangankoe” (1945), serta “Laskar Rakyat Mengatur Strategi” (1946). Karya sketsa dan lukisan hitam-putihnya juga menunjukkan arah yang kuat pada gaya ekspresionisme.
Gaya lukisan Affandi, kata Agus, makin matang setelah belajar di Shantiniketan dan pameran keliling India dan Eropa pada 1949-1955. Kematangan itu ditandai dengan keliaran Affandi memakai teknik pelototan dari tube cat minyak dan basuhan tangan langsung pada kanvas. "Teknik itu menjadi kekhasan Affandi," ujarnya. Karena itu pula, banyak orang terkecoh dengan menyebut lukisan Affandi yang tak memakai teknik pelototan bukan karya Affandi.
Kolektor lukisan, Oei Hong Djien, pun menegaskan bahwa segala teknik yang dilakukan Affandi tidak ditemukan di bangku akademik. "Affandi itu seorang otodidak. Lukisannya penuh kadar emosi," kata Oei.
Ketua Jurusan Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, St. Sunardi, menambahkan, membaca karya lukisan Affandi tak membuat kening berkerut. Meski tema karyanya berat, "Justru melihat karya Affandi membuat kami serius untuk menertawakan diri sendiri. Itu hebatnya Affandi," kata Sunardi.
Buku itu berisi kumpulan tulisan dari 15 penulis yang mempunyai kedekatan emosional dengan Affandi, termasuk Sumardjono, sopir pribadi Affandi. Peluncurannya dilakukan pada Ahad pekan lalu oleh Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. "Ini adalah buku pertama yang menulis soal Affandi dari sisi kekeluargaan, bukan hanya karyanya," kata cucu Affandi, Helfi Dirix.
Tiga hal pokok pada
diri Affandi : Matahari, tangan dan kaki menampakkan obyek-obyek
maupun tema-tema lukisan Affandi, secara kuat lebih banyak
didominasi oleh nilai-nilai tradisional. Dalam kehidupannya
sehari-haripun, Affandi adalah sosok kepala keluarga yang
bertanggungjawab dan menunjung nilai-nilai sosial masyarakatnya.
Curahan ekspresi emosi pada karya Affandi bukanlah jenis emosi
kemarahan, kesakitan, keputusasaan atau ketakutan pada maut seperti
nampak pada tokoh-tokoh ekspresionis Barat. Ekspresi emosi pada
karya Affandi lebih mencerminkan optimisme pada kehidupan
sehari-hari yang menjadi bagian hidupnya.
Affandi memilih
matahari itu dipadang sebagai 'lambang' yang dapat mewakili
dirinya,dipandang sebagai karakter, pada daya pancarnya yang tak
kenal henti, semangat memberi tanpa menuntut imbalan, serta sumber
energi yang tak habis-habisnya. Daya kreatif Affandi berkolerasi
dengan karakter seperti itu. Obsesinya pada sifat matahari, seperti
energi yang mengalir dalam urat darahnya, mengilhami tema dalam
karyanya.Tangan dan kaki, merupakan organ-organ tubuh yang utama,
baik sebagai alat kerja maupun bergerak. Hal ini berkaitan dengan
gaya lukisan Affandi dan tekhnik berkaryanya yang ekspresionistik.
Ini adalah gaya seni yang mengambarkan emosi senimannya.
Gaya
ekspresionisme ini menuntut keterlibatan penuh antara seniman dan
obyek lukisanya,yang selalu melibatkan empati dan emosi yang mampat.
Ekspresi emosi seniman pada kanvas diupayakan tercurah secara penuh.
Dalam hal ini, Affandi tiba pada suatu teknik yang meminimalkan
perantara seperti kuas. Jari-jarinyalah yang berperan sebagai kuas.
Ini dilakukan agar getaran emosi yang mampat tadi dapat terekam
sepenuhnya secara langsung ke kanvas. Keberhasilan jenis gaya
seperti ini memang menentukan oleh intensitas dan kemurnian ekspresi
emosi seniman. Disini, teknik yang berarti cara terbaik dalam
melakukan sesuatu yang telah teruji oleh pengalaman, justru dijauhi.
Idealisasi gaya ekspresif adalah lukisan anak-anak yang masih murni,
atau karya masyarakat 'primitif' yang belum banyak diwarnai
peradaban modern. Jadi bukan keekspresian dengan objek yang dituju
oleh gaya lukisan ini, tapi ekspresi emosi yang intensif dan
sejujurnya.
0 komentar:
Posting Komentar