Hendra Gunawan: Bebas pengaruh asing.
Hendra adalah seniman yang menghabiskan hidupnya di penjara sebagai
tahanan politik. Dia dituduh terlibat pemberontakan PKI dan dipenjara
selama belasan tahun. Padahal sejatinya Hendra tidak terlibat politik
praktis. Dia hanya menjadi anggota Lekra, lembaga kesenian bentukan PKI.
Hendra disebut dekat dengan rakyat karena dia melukis masalah
keseharian rakyat.
Di penjara Hendra melukis. Hal itu menjadikan dia sebagai pelukis
Indonesia yang paling bebas dari pengaruh gaya dan aliran dari luar
negeri. "Hendra tidak kena pengaruh dari luar karena selalu berada di
penjara. Dia murni pelukis Indonesia," kata OHD.
Lukisan Hendra dikenal karena pemilihan warnanya yang berbeda. Hendra
juga dikenal sangat memuliakan wanita. Seiring berjalannya waktu,
pilihan warna pada lukisan Hendra menjadi makin cerah.
Meski dipenjara, menurut Oei, Hendra tak dendam. "Dia bahkan melukis
potret diri Presiden Soeharto," kata Oei. Sayang lukisan itu belum dapat
dipamerkan karena sedang direstorasi. Hendra juga melukis beberapa
lukisan mengenai kejadian di lubang buaya, menurut versi yang
diceritakan Orde Baru.
Widayat: Picasso Indonesia
Widayat dijuluki Oei sebagai Picasso Indonesia. Meski demikian, Widayat bukan hanya melukis abstrak. Lukisan pertamanya tahun 1953. Saat itu lukisan Widayat masih beraliran realis.
Widayat: Picasso Indonesia
Widayat dijuluki Oei sebagai Picasso Indonesia. Meski demikian, Widayat bukan hanya melukis abstrak. Lukisan pertamanya tahun 1953. Saat itu lukisan Widayat masih beraliran realis.
Tahun-tahun berikutnya lukisan Widayat berubah menjadi abstrak. Widayat banyak terpengaruh Picasso, juga dalam melukis tubuh telanjang. Tapi lukisan telanjang karya Widayat berbeda dengan karya Affandi yang penuh gairah. "Lukisan nude karya Widayat lebih lucu, bernuansa romantik," kata OHD.
Oei menyebut Widayat sebagai Picasso Indonesia karena kreativitasnya. Widayat punya etos kerja tinggi, tak ada satu haripun yang dia lewatkan tanpa melukis. "Karyanya apolitis tapi punya sifat magis," kata Oei.
Affandi: Emosi dalam potret diri
Affandi mungkin pelukis paling terkenal dibanding empat maestro lain. Sebagian besar lukisan Affandi bertema potret diri. Meski Affandi hanya satu orang, ternyata lukisan yang dihasilkan selalu berbeda karena moodnya saat melukis tak akan pernah sama. Contohnya, dua lukisan self portrait yang dibuat tahun 1960 dan 1961 tapi sangat berbeda.
Menurut OHD, lukisan merupakan penyaluran jiwa Affandi, dari apa yang ada dalam pikirannya, disalurkan dalam lukisan serta merta. Bahkan, Affandi kadang tak memakai kuas dalam melukis. "Affandi sangat emosional, dia mencurahkan jiwanya melalui subyek yang dilukisnya," kata OHD.
Selain potret diri, Affandi sangat dipengaruhi budaya Bali. Dia banyak melukis barong dan adu ayam. Oei juga punya satu lukisan Affandi yang disebutnya sebagai mahakarya lukisan interior. Lukisan itu menunjukkan interior kelenteng di Jogja dengan warna dominan merah dan hitam.
Lucunya, Affandi adalah satu-satunya pelukis yang pada masa itu memperbolehkan kolektor membeli lukisannya dengan cara dicicil. "Terserah berapa kali, berapa lama. Akibatnya lukisan Affandi paling laku," kata Oei sambil tertawa.
S Sudjojono
Berbanding terbalik dari Hendra, Sudjojono justru politikus Partai Komunis Indonesia tapi tak dipenjara. Padahal Sudjojono menjadi anggota DPR dari Partai Komunis Indonesia karena kelihaiannya berpolitik. Sudjojono lepas dari tuduhan makar karena dia sudah lebih dulu keluar dari keanggotaan PKI karena menikah lagi dengan seorang perempuan.
Sebagai politikus, lukisan Sudjojono juga paling politis. Selalu ada pesan yang dia ingin sampaikan melalui lukisannya. Misalnya, penari topeng menggambarkan ketidakjujuran. Bahkan, kerapkali dia menuliskan tulisan untuk menjelaskan maksud lukisannya. Dalam lukisan berjudul 'Perjuangan belum selesai', Sudjojono menulis "Perdjuangan belum selesai, djalan masih pandjang menuju gerbang kemerdekaan."
Sudjojono adalah pelukis yang intelek. Karyanya diciptakan melalui proses pemikiran dan punya konsep. Tapi dia sering dikritik karena dianggap disusupi ideologi kiri dalam melukis. Tak banyak karya buatan masa revolusi yang tersisa. Hampir 50 karya dibakar Belanda saat kumpeni menyerbu Jogja.
Soedibio: Bapak surealis Indonesia
Sayang, karena persoalan pribadi Soedibio menghilang dari dunia seni rupa selama 15 tahun. Akibatnya, nama Soedibio paling tidak terkenal dibanding yang lain. Karyanya masih dihargai lebih murah daripada beberapa pelukis muda.
Keunikan Soedibio ada pada gaya lukisannya yang berubah dengan drastis sesuai kisah hidupnya. Lukisannya pada zaman revolusi bernuansa kelam dan meununjukkan kekerasan. Dia kemudian menghilang, dan kembali lagi dengan gaya lukisan yang lebih lembut. "Setelah dia muncul, semua kekerasannya hilang. Pada akhir hidupnya, lukisannya menjadi bergaya dekoratif," kata Oei.
Hidup Soedibio melarat. Lukisannya banyak yang dijual untuk menghidupi lima anaknya yang masih kecil. Kini istri Soedibio sudah tak punya satupun lukisan karya almarhum suaminya.
Soedibio meninggal tahun 1981, meninggalkan lima anak. Si bungsu berusia 40 hari dan sulung berusia 9 tahun. "Kalau saya kangen lukisan Bapak, saya pergi ke tempat kolektor untuk melihat karya suami saya," kata istri Soedibio, Saitem, saat menghadiri pameran lima maestro di Magelang.
0 komentar:
Posting Komentar