SEJAK pembukaan Museum
OHD di Magelang (5 April 2012) muncul beberapa reaksi yang beredar di
dunia seni rupa Indonesia. Reaksi-reaksi ini kemudian menggiring pada
diselenggarakannya Fine Art Round Table Discussion di Galeri Nasional
Indonesia, Jakarta (24 Mei 2012). Sebagai seorang sejarawan seni yang
telah lama meneliti seni rupa modern dan kontemporer Indonesia, saya
ingin berkontribusi ke dalam diskusi ini dengan berbagi pendapat saya
kepada kalian.
Sebuah
kesenangan luar biasa bagi saya karena dapat menghadiri pembukaan
Museum OHD ke-3 di Magelang. Karena saya menginap selama beberapa hari
di sana, saya mendapatkan kesempatan baik untuk mengunjungi museum dan
mempelajari lukisan kelima maestro ini: Affandi, Sudjojono, Hendra,
Widayat dan Soedibio.
Pertama
kalinya saya melihat karya yang secara tak terduga berkualitas begitu
tinggi dengan konten yang begitu unik betul-betul membuat saya
tercengang. Sungguh sebuah perjamuan untuk mata dan jiwa. Karya-karya
ini memperkaya pengetahuan saya dengan informasi baru yang dibawanya.
Pameran ini memberikan arti baru pada pentingnya peranan para pelukis
tersebut dalam sejarah seni rupa Indonesia.
Sehari
sebelum pembukaan, dr. Oei memandu satu grup jurnalis mengelilingi
koleksinya. Dengan ke-khas-an antuasiasmenya yang menginspirasi, ia
menjelaskan latar belakang tiap pelukis dan karya-karya mereka. Hari
pembukaan keesokan harinya sangat ramai dan menggembirakan. Akhirnya
kita dapat melihat hasil dari persiapan bertahun-tahun. Di samping
kekayaan isi dari pameran dalam museum, perhatian besar juga telah
ditujukan untuk bagian eksterior gedung. Beberapa seniman telah diminta
membuat karya seni untuk memperkuat citra yang ingin ditampilkan
bangunan ini: sebuah museum yang mendukung seni rupa modern dan
kontemporer Indonesia. Relief patung besar di bagian depan dan beberapa
karya seni di pintu masuk berfungsi sebagai pengantar bagi para
pengunjung. Lantai halaman di pintu masuk museum dibagi menjadi
kotak-kotak kecil, tiap kotak digarap oleh seniman yang berbeda. Karya
seni ini menunjukkan kerjasama baik yang telah dibangun antara para
seniman dan dr. Oei.
Sehari
setelah pembukaan, acara diskusi berlangsung di Magelang. Topiknya
dibagi dalam dua sesi. Sesi 1: Mengusung seni rupa Indonesia sebagai
koleksi museum internasional: isu, tantangan, strategi. (Panelis: Kwok
Kian Chow, Pearl Lam, Oei Hong Djien dan Helena Spanjaard, moderator
Patricia Chen). Sesi 2: Memetakan seni rupa Indonesia untuk
perkembangannya di pasar internasional: isu, tantangan, dan strategi.
(Panelis: Pearl Lam, Magnus Renfrew dan Lorenzo Rudolf, moderator
Patricia Chen).
Selama
sesi pertama, disebutkan oleh para panelis bahwa beberapa topik berikut
telah menghambat pemasaran seni rupa Indonesia di luar negeri:
kurangnya museum publik representatif di Indonesia, kurangnya pameran
regular di luar negeri, kurangnya publikasi dan pelatihan tentang
sejarah seni rupa, dan kurangnya seniman yang tinggal di luar negeri.
Pada
sesi kedua, infrastuktur galeri/ balai lelang/ pedagang seni dibahas.
Panelis menekankan fakta bahwa harga suatu karya harus “nyata”, yang
artinya seorang seniman harus mendapatkan tempatnya di pasar seni rupa
dengan proses yang bertahap, dilindungi oleh pemasaran yang dilakukan
oleh galeri yang sudah mapan. Untuk saya, diskusi ini sangatlah spesial,
karena jarang terjadi di Indonesia bahwa ahli-ahli seni rupa asing
dapat menyuarakan pendapat mereka. Kritik mereka sesungguhnya hanya
dimaksudkan untuk membantu memasarkan seni rupa modern Indonesia ke luar
negeri, seperti yang telah disampaikan oleh moderator acara ini pada
kata pengantar yang disampaikannya.
Gambaran
singkat mengenai acara pembukaan Museum OHD di Magelang menjadi
pengantar saya untuk menuju pada pembahasan surat ini (Misteri Seni atau
Sejarah Seni?), dan saya akan kembali pada kesimpulan diskusi panel di
Magelang pada akhir surat saya.
Isu Otentisitas dan Peran Sejarah Seni Rupa
Segera
setelah pembukaan Museum OHD, berbagai pertanyaan muncul sehubungan
dengan autentisitas beberapa karya seni dalam pameran. Awalnya
pertanyaan-pertanyaan ini anonim, tapi kemudian si pemrakarsa
menunjukkan identitasnya. Karena saya masih berada di Indonesia saat
itu, saya berkesempatan mengikuti kejadian ini, yang menggiring pada
diselenggarakannya acara “Fine Art Round Table Discussion: Indonesian Modern Paintings” oleh Sarasvati Art Management pada 24 Mei 2012.
Pada
tanggal tersebut, saya sudah kembali ke Belanda, tetapi resume
diskusinya telah turut dikirimkan ke saya sehingga saya dapat membaca
kesimpulannya sejauh ini.
Satu
hal yang mengesankan untuk saya adalah kenyataan bahwa pada seluruh
diskusi ini (sebuah inisiatif berarti dari dr. Oei dan peserta panel),
beberapa orang tampaknya sadar akan pentingnya sebuah mata rantai yang
terputus di Indonesia: tidak adanya fakultas sejarah seni rupa di
tingkat universitas. Sebagai seorang sejarawan professional, saya ingin
berkomentar tentang keganjilan situasi ini. Pertama, saya hendak
mengutip beberapa kalimat dari Goenawan Mohamad yang dapat dibaca di
resume yang dikirim oleh Sarasvati:
“Terlepas
dari keributan soal isu lukisan palsu, dalam forum diskusi muncul
sejumlah gagasan penting untuk membangun seni rupa Indonesia ke depan.
Budayawan Goenawan Mohamad menyatakan, kisruh isu lukisan palsu ini
muncul karena dunia seni rupa Indonesia tidak memiliki lembaga kritik
yang sehat. “Juga tidak banyak jurnal yang menampung kritik,” ujarnya.
“Kalau kedua hal ini ada, tentu kritik yang ada tidak akan menjadi liar,
tapi lebih sistematis.”
Sekarang
izinkan saya untuk memberikan analisa singkat mengenai dunia seni rupa
Indonesia dibandingkan dengan dunia seni rupa internasional (terutama
Belanda). Siapapun (di Indonesia maupun negara luar) yang hendak
membuktikan bahwa sebuah lukisan itu palsu memerlukan kriteria standar
tertentu yang berdasar pada penelitian. Di Eropa, dasar ini pertama-tama
disediakan oleh badan substansial berupa museum yang didukung oleh
pemerintah. Di museum-museum, karya seni dari berbagai periode berbeda
ditampilkan. Mereka ditampilkan sedemikian rupa sehingga membentuk
sebuah „kanon‟ (karya seni paling berharga yang terpilih, dibuat oleh
para spesialis, paling benilai dalam arti kultural, bukan karena nilai
finansialnya!) untuk masyarakat umum. Karya seni di museum mempunyai
beberapa fungsi: mereka memberikan pandangan tentang sejarah nasional
dan lokal sebuah negara, mereka menjadi latar belakang bersama sebuah
masyarakat, dan dalam hal karya seni dari budaya dan periode lain: karya
seni ini memperluas cakrawala pengunjung untuk belajar tentang budaya
dan periode dari asal yang berbeda. Fungsi terpenting dari museum adalah
fungsi edukatif, tetapi karya seni yang ditampilkan juga menyediakan
kriteria standar, yang mana dengan demikian sejarawan seni dapat memulai
penelitian mereka.
Dunia
seni rupa di Eropa dibagi ke dalam beberapa bidang, pemerintah dan
swasta. Di samping beberapa museum pemerintah mapan, terdapat juga
museum swasta dan galeri seni yang menampilkan seni rupa untuk khalayak
umum. Beberapa balai lelang yang dihormati menyediakan tempat di mana
karya seni dijual. Kolektor pribadi ada, dan menjadi semakin penting
dalam krisis ekonomi ini, tetapi mereka tidak memainkan peran domininan
dalam dunia seni rupa.
Dimulai
dari abad ke-19, universitas mendirikan departemen sejarah seni rupa.
Pada fakultas akademis ini, karya seni dipelajari dan dijelaskan dalam
buku dan majalah khusus. Publikasi ini dapat ditemukan di universitas,
museum, dan perpustakaan umum. Beberapa sejarawan seni mempersembahkan
seluruh hidup mereka untuk penelitian akademis, di samping aktivitas
dasar mereka: mengajar. Kurator museum, pameran atau art fair
internasional pada umumnya memiliki gelar di bidang sejarah seni, dan
ini juga berlaku sama bagi kritikus seni yang menulis di surat kabar dan
majalah.
Jika
ada pertanyaan muncul mengenai autentisitas sebuah karya seni,
sejarawan akan diminta untuk berpendapat, berdasarkan penelitian
independen. Independen berarti bahwa keterlibatan sejarawan seni ini
tidak berhubungan dengan individu atau institusi tertentu yang bertanya
kepada mereka. Sejarawan seni mengimplementasikan metodologi sejarah
seni rupa tepat yang telah mereka pelajari, dan jika ini tidak cukup,
ahli-ahli lain akan dilibatkan, seperti penelitian laboratorium, atau
pendapat kedua dari spesialis lain di bidang ini: misalnya restorator,
dll, dll.
Sekarang
mari kita kembali pada dunia seni rupa Indonesia. Museum Seni Rupa
Modern nasional yang secara permanen mempertunjukkan seleksi karya seni
historis oleh seniman-seniman terbaik belumlah ada. Maka karena itu,
tidak ada tolak ukur standar untuk memperbandingkan lukisan. Contoh
terbaik dari seni rupa Indonesia tersembunyikan dari mata publik karena
mereka telah menjadi milik kolektor pribadi. Maka inisitatif pribadi
manapun yang bersedia membukakan pintu mereka untuk masyarakat umum
sangatlah berharga.
Sama
seperti dunia seni rupa Eropa yang dibagi menjadi sektor pemerintah dan
swasta, dunia seni rupa Indonesia pun demikian; namun dengan beberapa
perbedaan penting. Institusi seni pemerintah masih harus dikembangkan
(museum, fakultas sejarah seni, pusat dokumentasi). Dengan demikian,
sektor swasta mendominasi sektor pemerintah. Balai lelang dan galeri
memenuhi ruang kosong dari sektor pemerintah. Mengenai studi akademis
seni rupa modern, situasinya tidak seimbang. Kebanyakan penulis mengenai
seni rupa adalah seniman, atau jurnalis. Tidak ada yang salah mengenai
seniman atau jurnalis yang menulis tentang seni rupa, asalkan
ditampilkan juga sejumlah publikasi yang dilakukan oleh sejarawan seni
rupa terlatih. Tetapi tidak demikian kenyataannya. Karena tidak ada
fakultas sejarah seni di Indonesia, saya tidak bisa menyalahkan siapapun
untuk situasi seperti ini, dan tentunya saya menghormati kritikus seni
rupa Indonesia yang telah ke luar negeri untuk belajar di sana.
Apa Akibat dari Situasi Ini?
Di
Indonesia ada ratusan seniman yang didukung oleh kolektor pribadi.
Pembelian lukisan seringkali berlangsung melalui perantara seperti balai
lelang, walaupun saat senimannya masih hidup. Jumlah galeri seni rupa
yang dikenal secara internasional sangat terbatas. Kurator pameran (yang
biasanya juga adalah penulis dari katalog) pada umumnya terhubung
kepada sponsor pribadi, karena tidak adanya dukungan dari pemerintah.
Bagaimana
mungkin kita mengharapkan penilaian obyektif dari sebuah karya seni
pada situasi yang seperti ini? Untuk mengembangkan pendapat independen,
diperlukan adanya pilar ketiga setelah dunia jual-beli. Di Eropa, pilar
ini disediakan oleh sejarawan seni rupa yang pada dasarnya berperan
untuk melakukan penelitian dan pengajaran. Dokumentasi dari karya seni
di insititusi-institusi dibuat berdasarkan pengetahuan mereka (keahlian,
bukan kecaman!). Umumnya, pekerjaan penelitian sejarawan seni bukanlah
sesuatu yang menyenangkan; ini adalah bagian dari penelitian sejarah
yang mana sumber literatur memainkan peranan yang sangat penting.
Dibutuhkan waktu dan kesabaran yang luar biasa untuk mengunjungi museum,
perpustakaan, pusat arsip, keluarga pelukis, dll. Di Eropa,
infrastuktur dunia seni rupa pada hakikatnya didasarkan pada penelitian
mereka, sebuah penelitian yang diperuntukkan untuk masyarakat umum,
untuk membuka sebuah dunia seni rupa bagi siapapun yang tertarik.
Kesenian masih dipercaya memberikan sesuatu yang lebih pada kemanusiaan,
sesuatu yang lebih dari sekadar nilai finansial sebuah karya seni.
Kurangnya
kriteria standar yang layak di Indonesia, (museum pemerintah di mana
kita bisa melihat contoh terbaik dari para pelukis penting, pusat
dokumentasi di tingkat akademis) menciptakan ruang hampa berbahaya yang
mana produksi lukisan palsu masuk dengan begitu pas-nya. Siapa yang
dapat memutuskan mana yang palsu dan mana yang asli ketika tidak ada
tolak ukur yang dapat diambil?
Kesimpulan
Selama
diskusi di Magelang (6 April 2012), anggota panel menyuarakan hambatan
jelas bagi pemasaran seni rupa Indonesia di luar negeri: kurangnya
museum, kurangnya pameran di luar negeri, kurangnya publikasi
profesional dan pelatihan di bidang sejarah seni. Pendapat mereka
mencerminkan pengalaman pribadi saya sendiri sebagai peneliti yang sudah
lama meneliti seni rupa modern dan kontemporer Indonesia.
Barangkali
ini adalah saat bagi dunia seni rupa Indonesia untuk berefleksi pada
kekosongan infrastruktur ini. Dunia seni rupa Indonesia terlalu
terobsesi pada transaksi jual-beli. Di mana letaknya aspek edukasi?
Mengapa menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli sebuah lukisan dan
tidak menginvestasikannya ke dalam dokumentasi, preservasi dan
penelitian karya seni? Jika Indonesia hendak mempromosikan kekayaan seni
rupa modern dan kontemporernya ke luar negeri, tentunya ini harus
dilakukan sesuai dengan standar kriteria internasional. Salah satu dari
standar ini adalah institusi penelitian dan dokumentasi yang layak,
sebuah institusi yang juga dapat berfungsi sebagai jembatan bagi dunia
seni internasional.
Maka,
marilah kita berlaku positif terhadap inisiatif yang mau memperlihatkan
seni rupa Indonesia yang selama ini tak pernah terlihat, kepada
khalayak umum (termasuk kepada turis). Dr. Oei telah memberikan teladan
luar biasa yang patut dicontoh oleh mereka yang lain. Mengenai isu asli
palsu: ini adalah masalah yang telah diciptakan oleh kekurangan dari
dunia seni rupa Indonesia itu sendiri, dan perlu diselesaikan dengan
cara yang profesional. Ini membutuhkan waktu dan kesediaan untuk
mengakui bahwa beberapa unsur terpenting dari iklim seni rupa yang sehat
masih belum terwujud.
Tanpa
penelitian yang tepat dan pengetahuan, alih-alih menjadi sorotan dari
Sejarah Seni Rupa Indonesia, seni rupa modern Indonesia akan tetap
menjadi sebuah Misteri bagi kebanyakan orang.
Dr. Helena Spanjaard
Art Historian
University of Amsterdam
Tentang Penulis
Dr.
Helena Spanjaard (1951) adalah sejarawan seni rupa asal Belanda yang
tinggal di Amsterdam. Sejak 1980, ia telah aktif di bidang lukisan
modern dan kontemporer Indonesia sebagai penulis, peneliti, dan kurator
dari berbagai pameran (Indonesian Modern Art since 1945, De Oude Kerk,
Amsterdam, 1993), (Reformasi Indonesia!, Museum Nusantara, Delft, 2000).
Disertasinya, The ideal of modern Indonesian painting: the creation of a
national cultural identity, 1900-1995, diterbitkan tahun 1998 oleh
Universitas Leiden.
Di
samping banyaknya artikel yang ia hasilkan, publikasinya juga termasuk
monograf Widayat, the Magical Mysticism of a Modern Indonesian Artist
(Museum H. Widayat, 1998), Modern Indonesian Painting (Sotheby‟s, 2003),
Exploring Modern Indonesian Art; the Collection of Dr. Oei Hong Djien
(Singapura: SNP International, 2004), Pioneers of Balinese Painting: The
Rudolf Bonnet Collection (KIT Publishers, Amsterdam, 2007), Indonesian
Odyssey (Equinox, 2008) dan The Dono Code (Catalogue Exhibition KIT
Publishers, Amsterdam, 2009).