Para
pendukung wacana film berpendapat bahwa film, secara intrinsik memang
penting meskipun terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan
estetika yang lebih luas. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai
objek kesenian lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Model
pendekatan ini dipancing oleh adanya upaya untuk melihat film secara
sosial dan ideologis. Lahirnya modus pendekatan ini juga tak pelak
dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh cutural studies pada dekade
1980-an. Dimana segala macam isu representasi akan ditinjau secara
politis berdasarkan latar belakang kelompok sosial atau budaya
tertentu, serta selalu mencari tahu siapa yang berada dibalik semua
produksi kultural. Menurut perspektif ini, film sebagai produk kultural
pastilah digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk
meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu.Pandangan semacam ini sangat dipengaruhi oleh paham Gramscian dan
Althusserian yang dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri
kultural’, dimana film dinilai sebagai salah satu produknya. Semua
perspektif ini adalah varian generik dari paham Marxisme.
Sekali
film dilihat sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak
sebagai gejala modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme,
industrialisme, budaya urban, dan massa yang tersentralisasi. Identifikasi
unsur politik representasi dalam film sebenarnya didasari oleh keeratan
hubungan dengan ilmu semiotika, varian ilmu linguistik yang mempelajari
tanda yang muncul pada tahun 1970-an. Para peneliti berpendapat bahwa
film lebih dari sekedar seni, film adalah sebuah fenomena linguistik.
Para peneliti ini mendasarkan diri pada ajaran-ajaran linguistik
Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce.
Salah satu pakar semiotika film yang paling berpengaruh adalah Christian
Metz. Semiotika film memandang film sebagai bahasa atau setidaknya
fenomena menyerupai bahasa yang memungkinkan manusia untuk menggali
partikel-partikel di dalamnya. Akibatnya, terbuka kemungkinan baru untuk
menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi
semiotika) dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan.
Meskipun
begitu, seorang teoritisi film bernama Joseph D. Anderson berpendapat
bahwa optimisme semiotika film ini tidak bertahan lama karena segera
tergantikan oleh teori ‘aneh’ psikoanalisa Freudian (dan turunannya)
yang digabungkan dengan paham Marxisme. Penggabungan ini dipelopori oleh Jacques Lacan yang mencolek setakaran
ilmu psikoanalisa, meramunya dengan sejumput paham Marxis, lalu
mengaplikasikannya ke dalam proses analisa sinematik. Kejadian inilah
yang disebut oleh teoritisi film Nöel Carroll sebagai ‘mistifikasi
film’.Carroll menilai bahwa penggabungan teori tersebut hanya akan
menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting instructor of political ideology). Contohnya, film-film Hollywood akan dinilai mengusung nilai-nilai
kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Belum
lagi psikoanalisa yang akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut
mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.
Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis/Marxian ini dapat diindera pada teori aparatus yang salah salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry bukan hanya melihat cinematic apparatus (teknik seperti editing, camerawork
dan proyeksi ke layar) semata sebagai perangkat ideologis, meskipun
pernah dalam salah satu tulisannya ia menganalogikan film dengan mimpi
(seperti halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada
mimpi sebagai dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita [unconciousness]).
Ia menambahkan bahwa kesamaan antara film dengan mimpi ini bisa dilihat
dalam proyeksi layar ketika sebuah film dipertunjukkan. Baudry
menambahkan bahwa proyeksi layar putih film merupakan representasi dari
layar dalam mimpi kita yang analoginya persis seperti buah dada seorang
ibu (berkaitan dengan konsep Oedipus complex) yang menurut dia
juga berwarna putih. Analogi ini berdasar pada konsep psikoanalisis
Bertram Lewin yang ia adopsi dalam menganalisa interpretasi film.
Carroll dalam salah satu bantahannya terhadap asumsi dan analogi
semacam ini mempertanyakan basis dari kesimpulan Baudry mengenai layar
film sama dengan buah dada ibu:
One
must at least question the purported screen/breast association. What is
its basis? And how extensive is it? Maybe some white people envision
breasts as white and then go on to associate the latter with white
screens. But not everyone is white. And I wonder if many whites
associate breasts and screens. Certainly it is not an intuitively
straightforward association like that between guns and penises. For
example, screens are flat, and lactating breasts are not. A screen is ,
ideally, uniform in color and texture; but a breast has a nipple.
Kesimpulannya,
asosiasi yang Baudry cantolkan terhadap layar putih sinema dengan buah
dada bukan hanya irasional, tetapi juga asosiasi objek yang tidak
intuitif. Setidaknya asosiasi pistol dengan penis misalnya lebih
mendekati karena tekstur phallic-nya, namun buah dada dengan layar putih yang datar sama sekali tidak kongruen.
Ilustrasi
di atas adalah salah satu contoh bentuk teori interpretasi sinema yang
melihat film sebagai gejala dari kompleksitas kehidupan manusia, dan
kebanyakan dari gejala tersebut dilihat dari teropong psikoanalis/Marxis
yang bersifat patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai bentuk
hasrat yang direpresi oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit
dalam bentuk sinema. Meminjam istilah Anderson, ‘film hanya akan
dianggap sebagai pasien, lalu para teoritisi film bertindak sebagai
psikiater’. Para teoritisi juga akan cenderung mencari
tahu agenda politik apa yang tersembunyi di balik sebuah medium film.
Teoritisi model ini banyak berasal dari para feminis, poskolonialis, dan
teoritisi queer cinema yang menganggap bahwa kajian film harus bisa mementahkan kekuatan opresif yang sangat mungkin dikandung oleh sinema.
Gelombang
teori berikutnya datang dari paradigma posmodernisme seiring merebaknya
paradigma ini dalam kajian humaniora. Posmodernisme sering
didefinisikan sebagai “apa saja yang bukan bagian dari modernitas.”
Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis yang baku, bahkan
mungkin saja ia tak punya teori, hanya segumpalan tingkah polah dan cara
pandang, mereka tetap punya sikap yang kurang lebih sama terhadap film,
yakni semata sebagai centang perenang arus penanda (signifier).
Para posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat
film dengan seksama lalu membicarakan isinya. Lagi-lagi, umumnya para
posmodernis hanya tertarik untuk membicarakan film secara ideologis,
seperti juga yang dilakukan oleh para teoritisi yang karakternya sudah
dijelaskan di depan, seperti psikoanalisa, Marxisme, feminisme, queer movement,
dan tradisi berpikir lain yang serupa. Gelombang wacana ini kemudian
akan dikritik keras oleh generasi berikutnya yang menamakan diri
‘Neoformalis’, lengkap dengan pendekatan yang mereka sebut ‘pendekatan
film kognitif’ (cognitive film approaches).
Orang pertama yang memperkenalkan usaha-usaha neoformalis adalah Victor F. Perkins lewat bukunya Film as Film
(1972). Meskipun belum menggunakan label ‘neoformalisme’, Perkins sudah
bersikeras dengan pendapat bahwa film harus dikaji tanpa ada kaitan
dari disiplin ilmu dan seni yang lain. Ia mencari celah agar kita bisa
menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis. Label
‘neoformalisme’ baru resmi diperkenalkan oleh para ilmuwan film dari
Universitas Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan Kristin
Thompson.
Asumsi-asumi neoformalis berkerja dengan didasarkan pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics.
Kedua konsep ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat
sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya dan naratif
dan berujung pada film secara keseluruhan. Pendekatan neoformalis
Bordwell dan Thompson paling kentara terbaca lewat buku mereka, Film Art, yang edisinya sudah diperbaharui sebanyak sembilan kali sejak pertama terbit tahun 1977. Thompson menerbitkan Eisenstein’s Ivan the Terrible: A Neoformalist Analysis dan Breaking Glass Armor sebagai manifestasi konkret metode analisis neoformalis terhadap sebuah film atau beberapa film ‘movement’, sementara Bordwell banyak menyoroti tradisi poetic
dalam karya-karya Carl Theodor Dreyer dari Denmark serta Yasujiro Ozu
dari Jepang. Bersama Thompson dan Janet Steiger, Bordwell menggali
historiografi sinema secara detail dalam buku Film History: An Introduction.
Neoformalisme membawa Bordwell dan Thompson menjadi pasangan pemikir
film paling subur sepanjang abad ke-20 bahkan hingga hari ini. Tidak
berhenti di Neoformalisme, tulisan-tulisan yang dipublikasikan Bordwell
khususnya pada tahun 1985 ternyata menjadi tonggak penting lahirnya
pendekatan baru, yang kemudian dikenal dengan ‘pendekatan film
kognitif’.
Dalam Narration in the Fiction Film
(1985) Bordwell mengembangkan teori naratif formalisme Rusia ke dalam
dimensi yang sama sekali baru. Dimensi ini mengintegrasikan cara
memahami narasi dan narasi yang terkandung dalam sebuah film atau
karakteristik dari genre atau movement film tertentu seperti
Soviet Montage Cinema (Eisenstein dkk) atau French New Wave (Godard,
Truffaut dan Rohmer). Teori ini berangkat dari konsep psikologi kognitif
yang digagas ilmuwan blasteran Austria-Inggris E.H Gombrich. Lebih
lanjut, Bordwell memperkenalkan sebuah konsep yang dinamakan schemata. Schemata
adalah konsep yang diadopsi dari psikologi kognitif yang intinya adalah
sebuah sistem pengorganisiran informasi kedalam kategori-kategori yang
akan dipergunakan kembali ketika kita menemukan situasi baru dengan
informasi baru pula agar proses pemahaman kita terhadap situasi dan
informasi baru tersebut menjadi lebih mudah. Dalam konteks menonton
film, schemata berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis
yang berusaha menjelaskan proses penarikan kesimpulan dan komprehensi
cerita ketika kita menonton film-film naratif.
Menurut
pendekatan kognitif Bordwell ini, menonton film bukanlah merupakan
pengalaman yang komplet. Penonton tidak akan disuapi secara otomatis
oleh total keseluruhan cerita (story) yang disampaikan, atau disebut fabula
dalam bahasa formalis Rusia, sehingga penonton menggunakan schemata
untuk mengorganisir informasi lewat plot yang diberikan dalam aransemen
fillm tersebut (disebut sebagai syuzhet) hingga menghadirkan representasi mental yang koheren. Schemata
bisa diidentifikasi dari petunjuk-petunjuk yang terdapat di sekujur
plot. Hadirnya petunjuk ini tak dapat lepas dari bahasa atau gaya
sinematik yang digunakan untuk menemani pengalaman audiens selama
menonton. Namun petunjuk bukanlah keseluruhan cerita. Petunjuk
meninggalkan banyak sekali ruang kosong untuk diisi oleh penonton.
Keberadaan ruang kosong ini memungkinkan penonton untuk menarik semacam
kesimpulan, dan kesimpulan itu akan digunakan kembali itu mengisi ruang
kosong tadi.
Seiring
film bercerita, penonton akan melihat berbagai peristiwa dalam plot.
Penonton merangkai ulang kejadian tersebut, merunut kembali urutan dan
pola relasinya sehingga membentuk keseluruhan cerita (fabula).
Namun, karena kegiatan ini berlangsung selama proses menonton, yang
artinya film bisa saja berbelok arah kemanapun ia mau, maka penonton
juga harus terus menarik kesimpulan. Tak jarang kesimpulan itu salah,
diperbaiki kembali, lalu lahir hipotesis baru, meruntuhkan kembali
hipotesis, bahkan tak jarang penonton harus membuang kesimpulan yang
sudah ada sebelumnya demi mencapai pemahaman atas sebuah film. Ada film yang gemar mengkhianati hipotesis penontonnya sehingga penonton harus melahirkan kesimpulan lagi dan lagi.
Namun,
seperti juga tren intelektual yang sudah-sudah, inovasi Bordwell juga
tak jarang dilempari kritik, terutama dari mereka yang masih keukeuh
menganut wacana
psikoanalisa-Marxisme-Lacanian-Althusserian-Postrukturalis, yang secara
nyata lebih memihak pada aspek interpretasi dalam menganalisa film.
Sebagai respon, Bordwell berkolaborasi dengan Nöel Carroll untuk menulis
semacam manifesto dengan kedok antologi. Mereka memberinya judul Post-Theory: Reconstructing Film Studies (1996),
judul yang terhitung sangat provokatif. Karya terbitan tahun 1996
tersebut diilhami oleh karya-karya mereka berdua sebelumnya, seperti A Case for Cognitivism (1989) karya Bordwell dan Mystifying Movies
(1988) karya Carroll. Dalam karya nan kontroversial tersebut, Bordwell
dan Carroll menyebutkan bahwa kognitifisme adalah sebentuk alternatif
bagi teori film kontemporer, yang mendasarkan dirinya pada eksplanasi
psikologis yang bersifat kognitif atas alam pikiran, emosi, dan
tindakan, yang cenderung berlawanan dengan psikoanalisa, Marxisme, dan
posmodernisme dalam hal interpretasi makna.
Para
pendukung tradisi terdahulu pun balik mengkritik Bordwell dan Carroll,
dua orang ini dinilai terlalu reduksionis, dingin, dan tentu saja
sombong. Warren Buckland contohnya, dengan penuh nafsu mempublikasikan
tulisannya Critique of Poor Reason di jurnal film Inggris Screen dalam rangka mendebat Mystifying Movies-nya Nöel Carroll beserta semua karakteristik kognitif yang dipanggulnya. Carroll menyangkal semua kritikan itu dengan Cognitivism, Contemporary Film Theory and Method: A Response to Warren Buckland yang ditolak oleh jurnal Screen untuk diterbitkan. Ada rumor bahwa penolakan Screen
tersebut sebenarnya dididasari oleh ketidak-setujuan epistemologis
mereka dengan teori-teori kognitif Nöel Carroll sendiri. Tulisan ini
pastinya bukan tempat yang tepat untuk membahas perdebatan alot panjang
lebar antara para penganut pendekatan kognitif dan ‘lawan-lawan
intelektual’ mereka, tapi saya kira cukuplah dengan mengatakan bahwa
pendekatan film kognitif tidak selalu diterima dengan mudah oleh banyak
pakar dalam arena kajian film.
Terlepas
dari segala kegaduhan teoritis ini, Bordwell dan Carroll telah berhasil
memperluas jangkauan pendekatan film kognitif sehingga hari ini,
pendekatan itu telah begitu familiar dipakai di berbagai universitas di
Eropa dan Amerika Serikat. Gerakan intelektual ini telah mewujud dalam
setiap karya yang menjadikan teori Bordwell dan Carroll sebagai kerangka
berpikirnya. Secara perlahan, pendekatan kognitif ini juga sudah ramai
dilibatkan dalam seminar, jurnal ilmiah, dan lain-lain. Salah satu yang
paling masyhur adalah Society for Cognitive Studies of the Moving Image
(SCSMI) dimana Bordwell berandil besar dalam pendiriannya. Setiap
tahun, para aktifis institusi ini bertemu dan mempresentasikan
karya-karya mutakhir mereka.
Secara
keseluruhan, hadirnya pendekatan film kognitif telah berdampak pada
banyak hal, terutama perbedaan cara dalam memandang sinema. Hal ini
tentu tak terlepas dari disiplin ilmu yang melatari perkembangannya,
seperti neurological science, cognitive science, evolutionary biology, evolutionary psychology,
dan juga metode kritik neoformalisme sebagai poros konseptual yang
paling penting. Bahkan sekarang ini, ilmuwan Uri Hasson tengah
mengembangkan apa yang ia sebut ‘Neurocinematics', salah satu varian generik yang paling anyar dari pendekatan film kognitif.